Wednesday, October 12, 2016

Pemikiran Aristoteles : Logika Silogisme, Perubahan dan Gerak, serta Abstraksi

Aristoteles (384 SM-322 SM) adalah salah seorang murid Plato dan Guru dari Alexander yang Agung. Berkaitan dengan pemikiran filsafat, mereka memiliki pendapat masing-masing yang bahkan saling bertentangan.

Aristoteles menulis tentang berbagai subyek yang berbeda termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap sebagai satu dari 3 orang paling berpengaruh di pemikiran Barat.

LOGIKA SILOGISME

Logika itu apa?

Logika sering ditemukan dalam bahasa sehari-hari dalam kata logis, misalnya "pendirianmu itu logis" atau " ceritamu itu tidak logis". Logika sebenarnya bukan ilmu yang menambahkan pengetahuan baru, tetapi mencegah kekeliruan untuk memastikan bahwa pengetahuan yang kita anggap baru itu benar. Tujuan mempelajari logika bukan untuk bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh.

Sebelum kita masuk pada bahasan mengenai logika, marilah kita membayangkan bagaimana suatu hal bisa dimengerti. Jika ada seseorang sedang membicarakan suatu masalah, apakah yang membuat kita yang mendengarnya bisa mengerti?

Yang pertama adalah bahwa pembicaraannya jelas menggambarkan kaitan antara satu hal dengan hal lain, tidak tumpang tindih. Yang kedua, cara membicarakannya terdengar sangat bertahap, "selangkah demi selangkah", sampai seluruh kaitan tergambar dengan baik. Nah dari simpulan ini bisa kita katakan bahwa untuk berbicara atau mendengarkan kita membutuhkan satu tatanan pembicaraan  yang rapih dan tertata. Apa yang dibicarakan harus merupakan satu kesatuan yang tertata. Nah, logika berkaitan dengan pola rancangan berpikir itu.

Logika berasal dari kata logos yang berarti "kata". Secara lebih luas bisa kita nyatakan bahwa logika adalah penggunaan kata-kata sedemikian rupa sehingga kata-kata itu membawa kita pada beberapa makna. Kata-kata biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Kalimat yang mengemukakan hubungan maknawi antara dua kata atau lebih disebut proposisi. Misalnya "tanpa berpikir manusia akan tersesat" bisa dipandang sebagai proposisi sederhana; di dalamnya kita menemukan kaitan antara kata "berpikir", "manusia", dan "tersesat" - sekaligus juga kita menemukan suatu simpulan makna.

Proposisi bagi Aristoteles selalu terdiri dari tiga bagian : Subyek, Predikat, dan Copula (penghubung). Misalnya, Socrates dapat mati. Logika kemudian memberikan kerangka pencarian kebenaran bagi yang konkret dengan merujuk pada hal-hal yang bersifat umum. Tentu saja, karena bagi Aristoteles pengertian umum merupakan kebenaran utama, sedang yang konkret sebagai penegas. Kerja logika bisa dikatakan sebagai bentuk kemudian setelah ditemukan esensi dari proses abstraksi rasio pasif. Jadi, setelah ditemukan satu esensi (pengertian umum) kemudian dicoba buktikan dengan mengajukan contoh kasus dari hal konkret.

Misalnya, semua manusia dapat mati adlaah pengertian umum. Lalu dicobabuktikan dengan memasukkan satu kasus konkret : Socrates adalah manusia. Pertanyaannya: apakah Socrates yang amnusia itu juga dikenai esensi " dapat mati "? Ya, tentu saja. Bagaimana proses berpikirnya. Aristoteles mengajukan metode Silogisme. Metode ini merupakan cara penyimpulan yang terdiir dari tiga proposisi atau premis.
  1. Premis mayor (berisi proposisi umum)
  2. Premis minor (berisi proposisi khusus)
  3. Kesimpulan (konsekuensi dari hubungan dua premis mayor dan minor)
Mari kita lihat contohnya:
  1. Semua manusia dapat mati    semua a dapat b
  2. Socrates adalah manusia        c adalah a
  3. Socrates dapat mati                maka c dapat
Proses ini dapat terjadi dan kita lakukan jika kita secara konsisten mengingat tiga prinsip dasar realitas konkret. 
  1. Principium identitatis (prinsip identitas A=A)
  2. Principium contradictionis (prinsip kontradiksi, sanggahan harap dihindari, A bukan -A)
  3. Principium exclusi terium non datur : B=A atau bukan -A (Prinsip mustahilnya kemungkinan ketiga). 
Jadi pada saat membicarakan Socrates ia harus secara pasti merupakan identitas manusia, bukan kucing atau anjing. Jika yang dimaksud Socrates adalah nama seekor anjing, maka kesimpulannya bisa berbeda secara isi.

Logika Aristoteles juga berkenaan dengan definisi, ini pun turunan dari tiga prinsip dasar di atas. Definisi adalah pengertian yang bisa kita berikan pada suatu hal. Bagi Aristoteles pengertian kita tentang sesuatu selalu tersusun dari genus proximum (pengertian luas yang paling dekat) dan differentian specifica (ciri khas, yang spesifik). Kita tak pernah bisa menyatakan bahwa kucing adalah kucing, kita dapat mengenali kucing karena kita bisa menemukan bahwa ia adalah binatang berkaki empat yang mengeong. Dengan cara ini ditemukanlah bahwa kucing yang kita bicarakan adalah kucing yang konkret yang berbeda dengan anjing, kuda atau manusia.

Pada Silogisme dan definisi di atas, terlihat bagaimana Aristoteles masih menggunakan hal universal (hal umum) namun dengan cara yang berbeda dengan gurunya, Plato. Letak perbedaan Aristoteles dari Plato adalah pendiriannya yang menegaskan bahwa yang umum tidak terpisah dari benda-benda konkret, yang umum itu justru terletak dalam diri benda-benda konkret itu.. Ide yang universal (tanpa bisa ditunjukkan ini itunya) tergantung pada yang konkret (ingat 9 kategori tergantung pada substansi). Dengan cara ini pengetahuan atau pengertian umum dapat dicarikan buktinya dalam realitas.

PERUBAHAN DAN GERAK 

Sudah kita tahu, para filsuf alam mempersoalkan perihal gerak dan perubahan. Mereka terjebak pada ekstrem yang memihak satu sisi untuk menolak sisi yang lainnya. Pameneides menyatakan bahwa gerak dan perubahan hanyalah ilusi. Bagi Parmeneides yang ada adalah ada, yang tidak ada adalah tidak ada, jadi tidak mungkin yang tidak ada akan menjadi yang ada, karena itu tak mungkin ada perubahan.

Aristoteles mengemukakan pemikirannya mengenai gerak. Bagi Aristoteles ada tiga tingkatan "ada" dalam realitas ini:
  1. Yang ada
  2. Yang tidak ada
  3. Di antara yang ada dan tidak ada, yaitu yang mungkin ada
Yang mungkin ada dimaksudkan sebagai potensi, sebagai bakat. Lewat potensi inilah yang semula tidak ada menjadi ada. Jika kita memanaskan air dan kemudian ia menjadi uap, ini berarti yang semula tidak ada (uap air) menjelma menjadi ada, konkret terlihat dan terasakan. Bagi Aristoteles keberadaan sejenis uap air itu tidak mungkin ada begitu saja, uap air ada karena air dalam dirinya memiliki potensi bagi pemunculan uap air.

Oleh karena itu, bagi Aristoteles, setiap gerak mewujudkan seuatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara terwujud (aktus). Dari dirinya sendiri, air misalnya, pemunculan potensi ke tahap aktus ini tidak bisa diusahakan, untuk itu diperlukan adanya suatu penggeraka yang berasal dari luar dirinya. Apa itu? Tentu saja api yang sanggup memanaskan air. Air adalah sebab efisien (dari luar). Namun, ada api dan air saja tak mungkin menghasilkan uap jika keduanya berjauhan tentu. Karena itu yang memungkinkan air mengeluarkan potensi uap airnya adalah posisinya dari api, ini yang disebut dengan sebab formal. Baru setelah ada kedua sebab itu, air yang ada pada dasarnya memiliki potensi uap air kaan berubah menjadi uap air.

Namun bagi Aristoteles hal ini belum mencukupi, masih ada satu sebab lagi yang menyebabkan air berubah mejadi uap air. Yaitu tujuan yang dimiliki air itu. Dunia ini bertujuan, dmeikian ujar Aristoteles, dan tujuannya dalah merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tujuan inilah yang menyambut ketiga sebab yang tadi (adanya ait = sebab material, adanya api = sebab efisien, posisi keduanya yang memungkinkan terjadi pemanasan = sebab formal) sehingga potensi menjadi aktual. Tujuan ini disebut sebagai sebab final.

Bagaimana mungkin air memiliki tujuan? Atau apa yang menggerakkan tujuan pada air itu? Air dengan sendirinya mungkin tak memiliki tujuan, namun Tuhan memiliki tujuan ketika menciptakan air. Lho, kok bicara Tuhan, apa hubungannya? Ya, begitulah Aristoteles. Ia menjawabnya begini: Logisnya, setiap yang bergerak pasti ada yang menggerakkan, namun jika berlaku terus-menerus tentu saja jadi ruwet, karena itu Aristoteles membayangkan adanya penggerak yang tidka bergerak. Ia tidak bergerak - yang dengan cara ini ia tidak membutuhkan penggerak lain lagi - namun ia menjadi penggerak, nilah yang dimaksud dengan penggerak yang begitu sempurnya yang diakitkan Aristoteles denga Tuhan. Dan Tuhanlah yang menetapkan tujuan di semua benda-benda dan dunia ini.

Dalam penerapan yang lain metode teleologiss (kebertujuan segala hal) digunakan untuk memahami forma suatu benda. Artinya, forma suatu benda dapat terketahui melalui penyelidikan tentang maksud/tujuan forma tersebut. Pertanyaan-pertanaan:mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan memiliki forma tertentu. Jadi, forma tidal lagi dimaknai sebagai bentuk yang menunjukkan pola di dunia idea sana ; forma bagi Aristoteles berisi maksud dan tujuan keberadaan suatu benda.

Midalnya, sepotong kapur tulis yang biasa digunakan untuk mengajar di kelas. Mari kita mulai dengan membuat pertanyaan bagi Plato : bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis ini adlaha kapur tulis? Apa yang membuatnya dmeikian? Plato akan mengatakan bahwa ia bisa dikenali karena kita telah memiliki ide tentnag kapur tulis itu. Ingat apa yang tampa (misalnya x) hanyalah bagian dari apa yang nyata Ada (ide tentang x). Jadi, seandainya seluruh kapur tulis di dunia ini dimusnahkan sampai sekian generasi, idenya masih tetap ada dan nyata ; idenya masih merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Kesimpulannya, bagi Plato, benda yang kita anggap kapur tulis itu disebut nyata karena ia bagian dari dunia ide.

Sebaliknya, Aristoteles akan menytakan bahwa kapur tulis yang nyata adalah apa yang bisa diinderai bahannya serta dapat dipikirkan bentuknya. Kapur tulis yang nyata adlaah gabungan antara bahan dan formanya. Sesuatu disebut nyata bukan hanya karena ia memiliki forma yang merupakan bagian dari dunia idea, sambil menafikan keberadaan bahannya. Bahan begitu penting untuk disertakan, karena bahan memiliki kemampuan untuk mengkonkretkan (sebagai contoh nyata) dari forma tersebut dalam kehidupan nyata.

Ide bukan sekadar berarti pola, namun berarti juga maksud/tujuan. Ide kapur tulis dlaam hal ni memiliki tujuan tertentu yang bisa diamati, jika ada suaut benda memnuhi tujuan ide kapur tulis maka ia bisa disebut sebagai kapur tulis. Nah, dengan demikian kapur tulis bisa saja terbuat dair bahan kapur berwarna mera, putih atau kuning asalkan ia memenuhi maksud dari ide kapur tulis tersebut. Maka untuk mengecek kebenaran suatu benda (yang kita lihat) sebagai kapur tulis adalah pengajuan pertanayaan: Untuk apa kapur tulis dipakai? Apa maksud ide kapur tulis disebutkan untuk benda itu?" Kapur tulis dipakai, bila tampil id ruang kelas, untuk menuliskan hal-hal di papan tulis". Apa maksud benda tertentu dianggap kapur tulis, " karena ia bisa menuliskan hal-hal di papan tulis". Jadi, jika sebuah kapur tulis diremukkan; ia tidak bisa disebut lagi sebagai kapur tulis karena benda itu sudah tidak bisa melaksanakan tujuannya. Ini bisa juga berarti substansinya telah musnah, realitasnya sebagai kapur tulis telah berubah.

BAGAIMANA MENG-ABSTRAKSI

Pada Aristoteles kita menemukan tida kata kunci, abstaksi, substansi, dan esensi.

Abstraksi adalah menyingkirkan hal-hal khusus, agar ditemukan yang umum. Yang umum inilah yang dianggap sebagai kebenaran universal.

Substansi adlaah sesuatu yang tetap konstan sementara yang lain berubah, atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk tetap ada secara mandiri. Misalnya, tidak ada senyum tanpa seseorang  (secara substansial) tersenyum. Dengan subtansi ini, Aristoteles memberikan satu titik acuan pada saat kita memikirkan perubahan. Yaitu bahwa dari semua yang tampak berubah sebenarnya terdapat satu unsur yang tetap, substansi. Ia menjadi tempat bergantungnya berbagai unsur dair sesuatu. Jiwa disebut sebagai substansi diri manusia, jika semua unsur dalam diri manusia bergantung pada jiwa.

Istilah ini dihubungkan dengan aksidensi, yaitu kualitas suatu benda yang tanpa dirinya benda itu tetap ada. Aksidensi menempel atau bergantung pada substansi. Apa yang kita amati pada awalnya adalah aksidensi, ia berubah-ubah dan tidak tentu. Namun percayalah, ujar Aristoteles, ia hanya penampakan luarnya saja, karena ia sebenarnya gejala dari substansi.

Esensi adalah kualitas khusus yang mendefenisikan suatu hal yang tanpa kualitas ini sesuatu tidak akan dianggap ada. Misalnya. jika jiwa dianggap unsur esensial bagi manusia maka tanpa adanya jiwa seseorang tidak dapat menjadi manusia.

Nah, marilah kita menggunakan keempat kunci ini bagi kegiatan pemahaman keseharian kita. Yaitu pada proses membaca.
  1. Membaca adalah proses mengerti. Yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.
  2. Mengerti adalah berpikir. Mengerti adalah proses mengubah suatu proses yang tidak dikenal menjadi proses yang dikenal agar anda dapat mengetahui apa yang harus dilakukan terhadapnya. Perubahan ini terjadi di dalam benak sementara anda pergi dari satu gagasan ke gagasan lain hingga situasi yang tak dikenal tampak mirip atau diambil dari situasi yang sudah dikenal. Peralihan dari satu gagasan ke gagasan lain inilah yang disebut berpikir. Pengertian adalah proses berpikir. (Edward de Bono, berpikir lateral) Misalnya, bila anda melihat benada putih bergerak-gerak di tengah malam gelap, reaksi anda barangkali ketakutan dan membayangkannya sebagai hantu posong. Tetapi segera setelah anda dapat melihatnya sebagaisecarik kain pada kawat jemuran, maka anda pun dapat mengetahui apa itu dan apa yang harus dilakukan - yaitu tidak usah takut. Itulah mengerti.
  3. Membaca suatu teks pada intinya adalah menemukan gagasan utama dari teks tersebut. Gagasan utama ini bisa kita sebut sebagai substansinya, karena pada gagasan utama inilah semua gagasan yang lain dalam tulisan itu bergantung. Pada saat yagn sama gagasan utama juga merupakan esensi, karena tanpa gagasan utama tulisan itu tidak akan memiliki arti sama sekali.
  4. Seperti kalimat yang tersusun dari subyek (yang diterangkan, substansi) dan predikat (yang menerangkan, bisa esensi bisa aksidensi), suatu teks secara umum juga terdiri dari subyek dan predikat.
  5. Proses abstraksi dalam membaca berarti menemukan substansi atau esensi dari bacaan tersebut. Jadi pertanyaannya yang diajukan pada saat membaca adlaha, "gagasan apa yang menjadi pusat? Gagasan apa yang jika ia ditiadakan amaka semua yang lain otomatis tidaka da?" atau"Gagasan apa yang dalam setiap halaman selalu menjadi inti pembicaraan - langsung atau tersirat? Jika ditemukan, itulah substansinya atau esensinya.
  6. Setiap teks terdiri dari banyak paragraf, dan setiap paragraf memiliki satu gagasan utama bagi paragraf itu. Menemukan gagasan utama dari teks secara keseluruhan dapat dialkukan dengan membandingkan satu gagasan utama masing-masing paragraf dengan yang lainnya. Misalnya, teks berikut ini:
  • Salah satu kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan  yang telah mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adlah fakta adanya kekeliruan. Fakta ini di satu pihal dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan di lain pihal menimbulkan teka-teki. Meresahkan, karena bagaiman mungkin bahwa dalam banyak hal yang amat penting bagi hidup kita, walaupun sering kali sudah berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja dengan teliti, kita kadang amsih dapat keliru? di lain pihak, fakta tersebut juga merupakan suatu hal yang menimbulkan teka-teki, bahkan suatu yang penuh misteri. Bagaimana mungkin bahwa seseorang peneliti yang diapndang ahli telah bekerja secara teliti dan hati-hati, serta telah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai, pun masih bisa keliru?
  • Selain fakta adanya kekeliruan, hal lain yang membuat orang tercenung dalam pengetahuan adalah kenyataan bahwa mereka yang disebut "pakar" pun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang betul dan mana yang keliru, mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimna mungkin bahwa orang-orang cerdik pandai dan terlatih berpikir canggih seringkali tidak hanya memiliki pendapat yang berbeda tetapi tidak sesuai dan bahkan saling bertentangan satu sama lain?
  • Mengingat hal-hal di atas, tidak mengherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis lalu cenderung mempertanyakan dan meragukannya. Jangan-jangan apa yang selama ini banyak di yakini kebenarannya ternyata kemudian terbukti bersalah. Meragukan kalin kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani Skeptomai yang secara harfiah berarti " saya pikirkan dengan seksama" atau " saya lihat dengan teliti". Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni " saya meragukan"
 Mari kita lihat 3 paragraf ini : cari pikiran utamanya lalu tuliskan menurut bahasa sendiri:
 
Paragraf pertama : kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia.
 
Paragraf kedua : adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama.
 
Paragraf ketiga : Sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.
 
 
Sekarang kita gabungkan ketiganya dalam satu kalimat majemuk :
 
KARENA kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia DAN adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama MAKA MUNCUL sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.

Inilah kesimpulan anda dari tiga paragraf tadi. Setelah itu baca lagi paragraf selanjutnya, simpulkan lagi ke dalam satu kalimat seperti ini, dan seterusnya. Setelah anda menemukan dan menunliskan seluruh kesimpulan (berdasar gabungan antar paragraf) dari seluruh makalah atau satu bab buku, cari lagi kemungkinan penggabungan kesimpulan itu satu sama lain sampai anda menemukan satu kesimpulan. Itulah Pikrian besar dari makalah yang adan baca.Jika diurai akan berbentuk sebagai berikut :

  • Paragraf (selanjutnya disingkat Pr) 1,2,3 disimpulkan menjadi kes A (Kesimpulan A)
  • Pr 4,5,6 menjadi Kes B
  • Pr 7,8,9 menjadi Kes C
  • Pr 10,11,12 menjadi Kes D (anggap saja makalah yang sedang dibaca berisi 12 paragraf)
Setelah terkumpul empat kesimpulan, anda harus mencoba menggabungkan keempat kesimpulan itu menjadi satu kalimat. Kalimat terakhir yang anda simpulkan itulah menjadi pikiran utamanya.

Demikian Artikel kami seputar " Pemikiran Aristoteles "
Semoga bermanfaat.
Baca Selengkapnya → Pemikiran Aristoteles : Logika Silogisme, Perubahan dan Gerak, serta Abstraksi

Sunday, October 9, 2016

Pemikiran Descartes : Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada)

Rene Descartes (31 maret 1956 - 11 Februari 1650) atau juga dikenal sebagai Renatus Cartesius (dalam literatur bahasa latin) merupakan seorang filsuf dan matematikawan Prancis.

Rene Descartes biasanya dianggap sebagai pendiri filsafat modern. Dia adalah seorang peletak dasar rasionalisme modern dan metode analitik. Bertrand Russel menyatakan, "Hal ini belum pernah terjadi sejak zaman Aristoteles, dan merupakan suatu tanda kepercayaan diri baru yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu.Terdapat suatu kesegaran dalam karyanya yang tidak dapat ditemukan dalam karya-karya para filsuf besar sebelumnya sejak zaman Plato." 

Descartes yang skeptis terhadap kebenaran yang lazim dipercayai pada saat itu, berhasrat untuk menemukan " sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinum ataukah terputus".

Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. "Semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas," tulisnya. " Kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan, dan kita berpendirian bahwa kita hanya percaya pada hal-hal yang benar-benar diketahui dan tidak ada keraguan keraguan tentangnya."

Sebagaimana Galileo, Descartes percaya bahwa bahasa alam adalah matematika. Descartes percaya bahwa kunci alam semesta adalah struktur matematis, dan dalam pikirannya ilmu itu sinonim dengan matematika. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan sifat-sifat obyek fisik, dia menulis, "Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat direduksi dengan kejelasan gambaran matematika dan pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi. Karena semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka saya berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula prinsip-prinsip lain yang diperlukan."

Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukannya,; semua pengetahuan tradisional, kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun,; hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukannya lagi, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pernyataannya yang terkenal, Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada.

Descartes adalah seorang filsuf yang mau mensistematiskan diri manusia seperti mesin. "Kita melihat arloji, air mancur buatan, jantera dan mesin-mesin serupa lainnya yang, meskipun buatan manusia, mempunyai kekuatan untuk menggerakkan dirinya sendiri dengan bermacam-macam cara. Saya tidak melihat perbedaan antara mesin-mesin buatan manusia itu dengan berbagai tubuh yang disusubn oleh alam." Sescartes membandingkan binatang dengan sebuah "arloji..yang terdiri atas....roda dan pegas", dan dia memperluas perbandingan itu hingga tubuh manusia, "Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin...Pikiran saya...membandingkan seseorang yang sakit dengan sebuah arloji yang kurang baik dengan konsep saya tentang seseorang yang sehat an sebuah arloji yang baik".

Mari kita lihat bagaimana Descartes merumuskan pemikirannya.

Tidaklah cukup memiliki akal budi yang baik, yang penting adalah bagaimana menerapkannya dengan baik. Demikian tulis Descartes dalam Discourse de La Methode. Tulisan itu menggambarkan keyakinannya bahwa akal budi memang sumber yang baik untuk memproduksi kebenaran. Namun kal budi untuk tujuan itu membutuhkan cara tertentu yang teratur, sistematis, dan berdasar pada kepastian yang tak teragukan lagi. Dengan kata lain bisa juga dikatakan bahwa Descartes tidak percaya pada semua metode filsafat yang berkembang saat itu.

Descartes memang meragukan metode filsafat saat itu. Ia menolak silogisme Aristoteles, baginya silogisme Aristoteles tidak dapat membawa pada pengertian baru. Alasannya dalam mekanisme silogisme, kesimpulan yang dihasilkan bukanlah pengertian baru. Silogisme hanya berguna untuk menguraikan hal yang telah diketahui sebelumnya.

Descartes juga menulis, ; Andaikata kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian pendapat sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsafat... Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita. 

Pernyataan ini  menggambarkan suatu sikap yang ogah bergantung pada pendapat yang sudah berkembang dalam masyarakat. Ia mau sendiri, ia mau melandaskan pemikirannya tidak berdasar kebenaran-kebenaran umum. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian pendapatnya sendiri.

Hal lain dari pernyataan itu adalah suatu sikap dalam belajar filsafat. Baginya buku filsafat bukan buku sejarah yang menambahkan kita akan sederet nama-nama atau tahun. Buku filsafat adalah sejumlah tide tentang bagaimana memahami realitas dan menemukan kebenaran. Namun semuanya bersifat spasio temporal dan karenanya dibutuhkan kepastian pendapat sendiri ketika membacanya, agar kita tak jadi budak atau keranjang sampah bagi pemikiran-pemikiran tersebut. Kita harus menjadi diri yang tidak tergantung.

Karnea aku mau memberikan diri seutuhnya untuk mencapai kebenaran, aku berpendapat bahwa perlulah aku mengambil jalan yang nampaknya berlawanan dan menolak sama sekali segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang dapat kubayangkan, supaya aku melihat apakah ada kepastian dalam keyakinan itu.

Descartes mencoba untuk merumuskan cara baru dalam merumuskan akal budi dan kebenaran. Ia memulai dengan pengecekan terhadap kebenaran-kebenaran lama, dan mencari "apakah ada kepastian dalam keyakianan itu?" Pertanyaan ini timbul dari kenyataan bahwa filsafat pada saat itu masih berputar-putar pada pemikrian Plato dan Aristoteles, padahal ilmu pengetahuan alam pada saat itu telah berkembang pesat. 

Galileo menyatakan bahwa bumi bukan pusat dunia, namun mataharilah pusatnya. Galileo tak sekedar percaya pada kebenaran lama. Ia melakukan eksperimen dan hasilnya adlah kebenaran baru yang cukup meresahkan pemelihara kebenaran saat itu. Lewat eksperimennya Galileo menemukan kesimpulan bahwa indera kita sangat menipu, akal budilah yang menunjukkan kita pada kebenaran. Dengan kata lain, meskipun tampaknya matahari bergerak melintasi langit dari Timur ke Barat, sebenarnya ia tidak bergerak seperti itu. Akal budi menunjukkan bahwa bumilah yang bergerak, dan justru matahari itu diam. Descartes terpengaruh oleh situasi itu dan ingin mengembangkan filsafat yang terus menerus di bawah kaki Plato dan Aristoteles.

Descartes yakin, kedua tradisi itu pastilah memiliki kesalahan. Suatu kesalahan yang membuatnya merasa sempurna sendiri, dan akibatnya tidak mampu memberikan dorongan bagi keberhasilan lewat penemuan-penemuan lanjutan. Descartes lalu memberlakukan metode kesangsian atas segala sesuatu, " Aku mengambil jalan yang nampaknya berlawanan dan menolak sama sekali segala sesuaut yagn berhubungan dengan apa yang dapat kubanyangkan." Ia ingin mendapatkan kebenaran yang tak tergoyahkan, sekaligus juga menjadi dasar bagi perkembangan lanjutan.

Lantas apa yang bisa kita ragukan? Indera Aristoteles? Ide Plato?

Keduanya, Descartes meragukan keduanya. Ia menyatakan indera sangat menipu kita. Di tengah padang pasir yang luas ada banyak pengalaman yang menunjukkan bagaimana mata kita melihat oase di beberapa kilometer di depan. Namun kenyataannya ia tidak ada. Atau kita juga sering tertipu oleh penglihatan dan fungsi indera lain kita pada saat mimpi, kita merasa dikejar anjing dan kita berkeringan dan ketakutan, karena berlari sepanjang malam. Mental kita menyatakan itu ada, ternyata itu semua hanya  mimpi. Ketakutan, penglihatan dan fungsi inera dengan demikian tidak memberikan dasar bagi kebenaran yang tak tergoyahkan. Suatu kebenaran harus tetap menunjukkan kebenaran di mana pun ia berada, di dunia nyata atu di dunia mimpi.

Pada meditasi kedua ia menulis:

"Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seorang manusia, dan dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih meyakinkan, ketimbang mereka yang kurang waras di dalam saat-saat mereka terjaga. Berapa kali telah terjadi pada diri saya bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk di dekat api, sedangkan  di dalam kenyataannya saya tidur di atas ranjang! Pada saat ini saya merentangkan tangan dan memperhatikannya, apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan tidak sejelas dan serinci ini. Namun di dalam memikirkan kembali hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa. Dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan jelas bahwa tidak ada  petunjuk-petunjuk pasti yang memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara kenyataan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam keraguan."


Semua orang yang pernah bermimpi pasti meraksan suatu pengalaman yang menakjubkan. Soalnya mimpi menyajikan pada kita situasi-situasi yang terasa sebagai nyata. Misalnya, jikat mimpi dikejar anjing tentu saja kita akan penat dan berpeluh karena harus berlarian sepanjang malam. Namun semua itu segera menghilang ketika kitaterjaga, dan sadar bahwa semuanya hanyalah mimpi. Semuanya tidak benar-benar ada. Namun anehnya kita merasakan semuanya seperti benar-benar ada, tampak nyata : anjing itu, atau rasa penat dalam lari.

Dari amsal di atas kita menemukan dua jenis kenyataan:
  1. Kenyataan yang terlihat dalam mimpi,iatampak nyata padahal ia tidak benar-benar ada.
  2. Kenyataan dalam keadaan terjaga,ia menghilangkan kenyataan dalam mimpi dan sanggup membedakan mana mimpi dan bukan mimpi.
Sekarang kita balik lagi pada pengalaman didalam dunia mimpi. Dalam mimpi kita semuanya terlihat nyata. Api yang terasa sama panasnya dengan api di dalam nyata. Api yang dirasakan dalam mimpi sama dengan api yang dirasakan di alam nyata oleh indera kita. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa indera kita merasakan hal yang sama dengan perasaan kita di dalam mimpi. Jika begitu, bisakah kita katakan bahwakenyataan yang dihasilkan indera pada saat jaga sama dengan kenyataan yang dihasilkan mimpi?

Dengan demikian, bisakah kita katakan bahwa inderakita tidak mampu memberikan pemilahan yang jelas mana yang benar nyata dan mana yang hanya mimpi? Sebagaimana badan saya yang tampaknyabegitu benar,demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi; sama-sama begitu jelas. Padahal kenyataannya yang di dalam mimpi hanyalah sekedar khayalan. Jangan-jangan semua hal yang saat ini saya yakini begitu jelas, kenyataannya hasil ulah pikiran saya sendiri ; seperti yang terjadi dalam mimpi. Kalau betul itu terjadi celakalah kita, karena kekasih menjadi tak ada pula, juga ibu dan kampung halaman.

Maka Descartes menyimpulkan seperti itu. Dan karenanya indera tidak bisa diserahi urusan untuk memasok pengetahuan yang terang dan jelas bagi akal budi. Harus dicari hal lain yang bisa menghadirkan di dalam akal budi sesuatu yang benar-benar tak teragukan. Dan Descartes menemukannya :

"Namun akal budi masih menuntut haknya. Akal budi tak menyerah begitu saja. Meskipun seandainyasaya bermimpi,masih terdapat kebenaran yang tidak hancur di dalam malapetaka itu. Yaitu kebenaran yang terjadi baik di dalam keadaan terjaga maupun dalam duniamimpi saya ;  segi empat mempunyai empat sisi baik di dalam mimpi maupun di dalam jaga."

Namun benarkah bahwa kebenaran matematis yagn saya kemukakan benar-benar tidak teragukan lagi kebenarannya? Atau, "bagaimana sayatahubahwa saya tidak menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga," Jadi,apa jaminan bahwa kita tak membuat kekeliruan terhadap suatu hal?

Descartes kemudian membuat hipotesabahwa ketidak mampuan kita menemukan kebenaran,pasti ada penyebabnya. Penyebab itulah yang terus-menerus menggoyahkan kerja akalbudi sehingga tidak pernah bisa menemukan kebenaran sejati. Penyebab itu oleh Descartes diandaikan sebagai sosok si Genius Jahat .

"Maka saya akan mengira bahwa, suatu makhluk jenius yang jahat yang begitu berkuasa dan jahat, telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menipu saya. Maka saya menjadi yakin bahwa semua benda yang saya lihat adalah salah;saya mulai yakin bahwa tak ada suatu pun yang pernah ada sama sekali sebagaimana ingatan saya yang salah telah menampilkannya kepada saya. Saya berpikir bahwa saya tidak mempunyai indera; saya bayangkan bahwa badan, bentuk, keleluasaan, gerakan dan tempat merupakan khayalan pikiran saya. Lalu apa yang dapat dianggap sebagai benar? Mungkin tak ada satu pun,kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti."

Kemudian pada bagian lain Descartes menulis:

"Bagaimana saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berbeda dari hal-hal yang telah saya pikirkan,yang mengenainya tak ada keraguan sedikitpun? Saya sendiri, bukankah sekurang-kurangnya merupakan sesuatu? Tetapi telah saya sangkalbahwa saya mempunyai indera dan badan. Tetapi saya ragu,apa yang menjadi akibatnya? Apakah saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tak dapat ada tanpa kedua hal itu? Tetapi saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tak dapat ada tanpa kedua hal itu? Tetapi saya telah yakin bahwa tidak ada sesuatu pun di seluruh dunia, tak ada surga, tak ada bumi, tak ada budi, dan tak ada badan: Apakah saya juga yakin bahwa saya tidak ada? Sama sekali tidak; saya tentu saja adasebab saya meyakinkan diri saya mengenai sesuatu. Padahal ada seorang penipu atau yang lain, yang sangat kuasa dan sangat licik, yang selalu menggunakan kepintarannya untuk menipuku. Maka tanpa sangsi saya tetap ada bahkan seandainya dia menipu saya, dan biarkan dia menipuku semau-maunya, ia tidak dapat menyebabkan saya menjadi tidak ada sejauh saya berpikir bahwa saya merupakan sesuatu. Maka setelah merefleksikan dan memeriksasegala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan hati-hati, kita harus sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa pernyataan ini : aku ada, saya berwujud hadir, mutlak benar setiap kali aku mengemukakannya atau aku mengkonsepsikannya di dalam pikiran."

Dua kutipan tersebut terlihat jelas apa yang ingin di kemukakan Descartes :
  1. Ketika saya menyadari bahwa ada si genius jahat yang menipu saya,sehingga tak ada satupun kenyataan yang benar-benar nyata. Maka saya yakin bahwa semua benda yang saya lihat adalah salah.
  2. Konsekuensi lain dari pernyataan 1 adalah : tak ada satu pun yang benar,kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti.
  3. Ketika saya meragukan segala kepastian di dunia ini. Adakah saya juga pasti tidak ada? Jika tidak ada, siapakah yang menyatakan bahwa segala sesuatu diragukan? Tentu saja ketika itu ada susuatu yang melakukan tidakan meragukan,dan itu adalah saya.Yaitu eksistensi dari subyek yang meragukan segala sesuatu.
  4. Karena meragu merupakan bagian dari kerja cogito maka dapat dikatakan bahwa cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Cogito inilah yangkemduian dijadikan dasarbagi filsafat Descartes,bukan idea Plato atau indera Aristoteles.Yang dimaksudkan dengan cogito adalah kesadaran secara umum,yang secara rinci dan meragukan secara terus-meneruis sampai menemukan suatu kebenaran yang tak dapat diragukan lagi.

Lebih lanjut Descartes menyatakan bahwa substansi manusia adalah cogito. Substansi ini hanya dimiliki oleh manusia.

TUHAN SEBAGAI PENJAMIN

Teori ini kita mulai dengan mempertanyakan kembali hasil pemikiran Descartes pada bagian Cogito Ergo Sum?

Descartes memusatkan perhatiannya pada apa yang disebut sebagai "yang tunggal",yang jelas bagi dirinya sendiri, danmasuk akal. Perhatian initentubisa dilihat sebagai jawaban bagiproses "meragukan segala hal". Apa yang selalu ditekankan Descartes adalah sifat intuitif dari pengetahuan.Yaitu kebenaran yang clear and distinct, yaitu sesuatu yang sedemikian tanpa keraguan karena dirinya sendiri. Maka bagi Descartes, "kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat dalam ide yang clear and distinct atau "semua hal yang ditangkap dengan sangat clear and distinct adalah pasti benar".Dan Descartes pada bagian Cogito Ergo Sum menunjukkan bagaimana ide itumuncul begitu terang dan jelas,tak bisa diragukan lagi.

Persoalannya adalah siapakah yang menjamin bahwa akal budimemang bisa menemukan idea clear and distinct? Darimana ide clear and distinct itu ada dalam diri manusia?

Ide clear and distinct telah digambarkan sebagai pengetahuan tak bersyarat, ia begitu sajadan tak terbantahkan.Ide clear and distinct adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan.Maka jawab atas pertanyaan itu adalah,hanya yang tak terbatas dan sempurna yang dapat mengakibatkan ide itu ada dalam diri manusia.

Aku yang mempunyai tentang "ada" yang sempurna yang clear and distinct.Untuk dapat menghasilkan koncepsi semacam itu dengan daya sendiri, aku seharusnya sempurna.Namun walaupun aku ada,tetapi aku tidak menyebabkan diriku sendiri. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan ada. Dan Tuhan dipikirkan sebagai substansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar "ada" sendiri.

DUNIA LUAR SEBAGAI EKSTENSA

Lalu bagaimana dengan badan? Apakah ia benar-benar ada,atau ia juga hanya ilusi?
"Aku yang berpikir merupakan hal berpikir yang murni.Namun aku dapat ragu-ragu tentang badanku: apakah ada atau tidak ada? Kalau itu mungkin,maka badanku itu berjarak-jauh secara nyata dengan hal berpikir tandi. Memang belum diberi bukti mengenai adanya badan,mungkin itu hanyakesan psikologis. Tetapi dari lain pihak aku mempunyai konsepsi yang tegas tentang hal seperti ekstensi (terarah ke luar),jumlah, letak dan sebagainya. Apakah mungkin itu hal yang nyata?".

Pada kutipan di atas,Descartes menyadari bahwa pada satu sisi badan (juga indera) diragukan sebagai dasar menghasilkan pengetahuan,namun pada sisi lain akal budinya memiliki konsepsi mengenai jumlah, letak, yang terukur, dan lainnya yang tentu harus diterimanya secara benar.Bukankah ia telah menerima hanya akal budi saja yang benar?saat itu ia memasuki pertanyaan baru, kalau demikian apakah badan juga sesuatu yang nyata ada?

Untuk menjawab pertanyaan itu,ia kembali pada argumen keberadaan sesuatu.Pada bagian sebelumnya ia telah menyatakan bahwa ia ada dan memiliki cogito karena ada sang penjamin, yaitu Tuhan. Karena Tuhan pastiada,maka pastilah saya dan cogito saya ada.Hal yang sama dituliskan Descartes untuk merumuskan keberadaan benda dan dunia materi.

"Tuhan menjamin obyektivitas pikiranku. Jadi konsepsi jelas tadi tentang ekstensi dan lain-lain itu ebyektif, maka dunia luar itu riil. Dan badan memang ada sebagai ekstensi murni. Dua sifat yang telah saya kenal adalah berpikir (ruhani), dan berekstensi (jasmani), keduanya adalah sifat-sifat pokok dan semua hal lain diarahkan pada kedua sifat tersebut. Keduanya tidak dapat direduksikan yang satu pada yang lain. Tapi sifat itu selalu berakar pada substansi. Jadi ada substansi pokok,yaitu pikiran  dan ekstensi. Lalu subtansi berarti : hal yang ada sedemikian rupa,sehingga tidak membutuhkan atau mensyaratkan hal lain bagi adanya".

Descartes seperti sedang menyatakan bahwa jika cogito itu dijamin oleh keberadaan Tuhan, maka kerja akal juga berada dalam jaminan Tuhan. Karena itu apa yang dipikirkan oleh cogito sebagai ada pastilah ada juga secara riil. Jadi dunia luar atau badan itu ada. Namun berbeda sifatnya dengan pikiran.

Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak megnambil tempat dalam ruang dan kearenanya tidak dapat dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.Tapi dunia luar (selain kesadaran) atau badan adalah materi yang cenderung melakukan perluasan ke luar (ekstensa), dan mengambil tempat dalam ruang,karenanya dapat selalu dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.

CARA KERJA RASIONALISME DESCARTES

Temuan Descartes telah menghancurkan Aristoteles (yang menyatakan bahwa substansi ada adalah forma dan bahan yang bisa dicerap oleh indera), juga Plato yang menyatakan idea (pikiran) sebagai pemilik pola alam raya.Akal budi bukan pola,namun penjelajah yang hendak menemukan sebabsegala sesuatu dengan cara meragukan. Akal budi adalah daya dalam diri manusia yang sanggup mengantarkan manusia pada penemuan hakikat segala sesuatu.

Lalu bagaimana cara kerjanya?

Inti dari Filsafat Descartes secara sederhana bisa dikemukakan sebagai imbauan untuk mencari kebenaran yang menghadirkan kenyataan yang taktergoyahkan, yang benar-benar tak bisa diragukan lagi.
Descartes mengajakkita untukmencari kenyataan yang terang dan jelas pada akal budi, yang tak teragukan lagi. Caranya:
  1. Tidak menerima sesuatu sebagai benar, kecuali terbukti benar.
  2. Untuk membuktikan kebenaran suatu hal, kita harus:  menghindari kesimpulan yang tergesa-gesa dan  menghindari dugaan terhadap suatu hal.
  3. Kenyataan yang terbukti benar adalah " apa yang datang secara terangdan jelas pada akal budi". sesuatu yang takmungkin lagi dapat kita ragukan.
 Bagaimana akal budi bisa menghasilkan pengetahuan yang benar?

Ada dua kerja yang pokok pada akal budi, yaitu intuisi dan deduksi.
  1. Induksi diartikan sebagai penglihatan pikiran yang sedemikian terang dan jelas sehingga tak ada satupun lagi yang dapat diragukan olehnya.Intuisi bisa dipandang sebagai hasil setelah akal budi terus-menerus melakukan peraguan akan segala hal. Di ujung proses keraguan itupastilahj ada satu substansi, yang tetaptertinggal walaupun yang lainnya sudah ditinggalkan.
  2. Deduksi adalah semua penurunan yang perlu dibuat dari apa yang didapatkan oleh intuisi.Ini adalah cara kedua setelah intuisi menyajikan satu substansi.
Bagaimana cara kerjanya?

Bagaimana cara memfungsikan intuisi dandeduksi dalam akal budi kita sehingga menhyasilkan pengetahuan yang benar?

Bagi Descartes ada empat patokan yang harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar.

Patokan pertama:
Seorang filsuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta). Clara secara sederhana bisa diartikan sebagai yang terang (tidak terselubungi oleh apapun kecuali obyek yang kita amati), sedang distincta adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.

Patokan kedua :
Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu dalam bentuk pertanyaan: mengurai sebuah pernyataan yang masih gelap menjadi pernyataan-pernyataan sederhana. Dengan cara itu kita bisa mengurai kenyataan yang lebih sederhana (tidak ruwet lagi) yang berarti pada saat itu kita menemukan kenyataan yang terang, clear. Patokan kedua ini disebut sebagai pola analisis (pemerincian suatu masalah menjadib agian-bagian untuk mendapatkan kebenaran, yaitu kenyataan yang tak terbagi lagi).
Patokan kedua ini bisa juga kita katakan bahwa bagi Descartes kebenaran yang "terang" (clara atau clear) adalah kebenaran yang "tak terbagi lagi" (jelas atau distinc). Dengan kata lain, kebenaran intuitif adalah kebenaran yang sederhana atau "tak terbagi" itu.

Patokan ketiga:
Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap clear et distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan itu. Ini adalah pola kerja sintesa atau perangkaian. Dalam sintesa ini kita memulai suatu pengetahuan dari hal yang sederhana (yang clara et distincta lalu dengan cara teratur kita susun setahap demi setahap untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih luas.

Patokan keempat:
Patokan keempat ini bisa disebut sebagai suatu pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan itu adalah pengetahuan yang clara et distincta yang benar-benar tak memuat suatu keraguan pun. Pola ini bisa kita sebut sebagai tahap verifikasi.

Kesimpulan:
Ada tiga pemikiran penting pada Descartes :
  1. Cogito ergo sum (Saya berpikir maka saya ada).
  2. Tuhan sebagai penjamin.
  3. Realitas sebagai ekstensa.



Demikianlah  artikel seputar Pemikiran Descartes
Semoga Bermanfaat
Baca Selengkapnya → Pemikiran Descartes : Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada)