Wednesday, October 12, 2016

Pemikiran Aristoteles : Logika Silogisme, Perubahan dan Gerak, serta Abstraksi

Aristoteles (384 SM-322 SM) adalah salah seorang murid Plato dan Guru dari Alexander yang Agung. Berkaitan dengan pemikiran filsafat, mereka memiliki pendapat masing-masing yang bahkan saling bertentangan.

Aristoteles menulis tentang berbagai subyek yang berbeda termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap sebagai satu dari 3 orang paling berpengaruh di pemikiran Barat.

LOGIKA SILOGISME

Logika itu apa?

Logika sering ditemukan dalam bahasa sehari-hari dalam kata logis, misalnya "pendirianmu itu logis" atau " ceritamu itu tidak logis". Logika sebenarnya bukan ilmu yang menambahkan pengetahuan baru, tetapi mencegah kekeliruan untuk memastikan bahwa pengetahuan yang kita anggap baru itu benar. Tujuan mempelajari logika bukan untuk bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh.

Sebelum kita masuk pada bahasan mengenai logika, marilah kita membayangkan bagaimana suatu hal bisa dimengerti. Jika ada seseorang sedang membicarakan suatu masalah, apakah yang membuat kita yang mendengarnya bisa mengerti?

Yang pertama adalah bahwa pembicaraannya jelas menggambarkan kaitan antara satu hal dengan hal lain, tidak tumpang tindih. Yang kedua, cara membicarakannya terdengar sangat bertahap, "selangkah demi selangkah", sampai seluruh kaitan tergambar dengan baik. Nah dari simpulan ini bisa kita katakan bahwa untuk berbicara atau mendengarkan kita membutuhkan satu tatanan pembicaraan  yang rapih dan tertata. Apa yang dibicarakan harus merupakan satu kesatuan yang tertata. Nah, logika berkaitan dengan pola rancangan berpikir itu.

Logika berasal dari kata logos yang berarti "kata". Secara lebih luas bisa kita nyatakan bahwa logika adalah penggunaan kata-kata sedemikian rupa sehingga kata-kata itu membawa kita pada beberapa makna. Kata-kata biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Kalimat yang mengemukakan hubungan maknawi antara dua kata atau lebih disebut proposisi. Misalnya "tanpa berpikir manusia akan tersesat" bisa dipandang sebagai proposisi sederhana; di dalamnya kita menemukan kaitan antara kata "berpikir", "manusia", dan "tersesat" - sekaligus juga kita menemukan suatu simpulan makna.

Proposisi bagi Aristoteles selalu terdiri dari tiga bagian : Subyek, Predikat, dan Copula (penghubung). Misalnya, Socrates dapat mati. Logika kemudian memberikan kerangka pencarian kebenaran bagi yang konkret dengan merujuk pada hal-hal yang bersifat umum. Tentu saja, karena bagi Aristoteles pengertian umum merupakan kebenaran utama, sedang yang konkret sebagai penegas. Kerja logika bisa dikatakan sebagai bentuk kemudian setelah ditemukan esensi dari proses abstraksi rasio pasif. Jadi, setelah ditemukan satu esensi (pengertian umum) kemudian dicoba buktikan dengan mengajukan contoh kasus dari hal konkret.

Misalnya, semua manusia dapat mati adlaah pengertian umum. Lalu dicobabuktikan dengan memasukkan satu kasus konkret : Socrates adalah manusia. Pertanyaannya: apakah Socrates yang amnusia itu juga dikenai esensi " dapat mati "? Ya, tentu saja. Bagaimana proses berpikirnya. Aristoteles mengajukan metode Silogisme. Metode ini merupakan cara penyimpulan yang terdiir dari tiga proposisi atau premis.
  1. Premis mayor (berisi proposisi umum)
  2. Premis minor (berisi proposisi khusus)
  3. Kesimpulan (konsekuensi dari hubungan dua premis mayor dan minor)
Mari kita lihat contohnya:
  1. Semua manusia dapat mati    semua a dapat b
  2. Socrates adalah manusia        c adalah a
  3. Socrates dapat mati                maka c dapat
Proses ini dapat terjadi dan kita lakukan jika kita secara konsisten mengingat tiga prinsip dasar realitas konkret. 
  1. Principium identitatis (prinsip identitas A=A)
  2. Principium contradictionis (prinsip kontradiksi, sanggahan harap dihindari, A bukan -A)
  3. Principium exclusi terium non datur : B=A atau bukan -A (Prinsip mustahilnya kemungkinan ketiga). 
Jadi pada saat membicarakan Socrates ia harus secara pasti merupakan identitas manusia, bukan kucing atau anjing. Jika yang dimaksud Socrates adalah nama seekor anjing, maka kesimpulannya bisa berbeda secara isi.

Logika Aristoteles juga berkenaan dengan definisi, ini pun turunan dari tiga prinsip dasar di atas. Definisi adalah pengertian yang bisa kita berikan pada suatu hal. Bagi Aristoteles pengertian kita tentang sesuatu selalu tersusun dari genus proximum (pengertian luas yang paling dekat) dan differentian specifica (ciri khas, yang spesifik). Kita tak pernah bisa menyatakan bahwa kucing adalah kucing, kita dapat mengenali kucing karena kita bisa menemukan bahwa ia adalah binatang berkaki empat yang mengeong. Dengan cara ini ditemukanlah bahwa kucing yang kita bicarakan adalah kucing yang konkret yang berbeda dengan anjing, kuda atau manusia.

Pada Silogisme dan definisi di atas, terlihat bagaimana Aristoteles masih menggunakan hal universal (hal umum) namun dengan cara yang berbeda dengan gurunya, Plato. Letak perbedaan Aristoteles dari Plato adalah pendiriannya yang menegaskan bahwa yang umum tidak terpisah dari benda-benda konkret, yang umum itu justru terletak dalam diri benda-benda konkret itu.. Ide yang universal (tanpa bisa ditunjukkan ini itunya) tergantung pada yang konkret (ingat 9 kategori tergantung pada substansi). Dengan cara ini pengetahuan atau pengertian umum dapat dicarikan buktinya dalam realitas.

PERUBAHAN DAN GERAK 

Sudah kita tahu, para filsuf alam mempersoalkan perihal gerak dan perubahan. Mereka terjebak pada ekstrem yang memihak satu sisi untuk menolak sisi yang lainnya. Pameneides menyatakan bahwa gerak dan perubahan hanyalah ilusi. Bagi Parmeneides yang ada adalah ada, yang tidak ada adalah tidak ada, jadi tidak mungkin yang tidak ada akan menjadi yang ada, karena itu tak mungkin ada perubahan.

Aristoteles mengemukakan pemikirannya mengenai gerak. Bagi Aristoteles ada tiga tingkatan "ada" dalam realitas ini:
  1. Yang ada
  2. Yang tidak ada
  3. Di antara yang ada dan tidak ada, yaitu yang mungkin ada
Yang mungkin ada dimaksudkan sebagai potensi, sebagai bakat. Lewat potensi inilah yang semula tidak ada menjadi ada. Jika kita memanaskan air dan kemudian ia menjadi uap, ini berarti yang semula tidak ada (uap air) menjelma menjadi ada, konkret terlihat dan terasakan. Bagi Aristoteles keberadaan sejenis uap air itu tidak mungkin ada begitu saja, uap air ada karena air dalam dirinya memiliki potensi bagi pemunculan uap air.

Oleh karena itu, bagi Aristoteles, setiap gerak mewujudkan seuatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara terwujud (aktus). Dari dirinya sendiri, air misalnya, pemunculan potensi ke tahap aktus ini tidak bisa diusahakan, untuk itu diperlukan adanya suatu penggeraka yang berasal dari luar dirinya. Apa itu? Tentu saja api yang sanggup memanaskan air. Air adalah sebab efisien (dari luar). Namun, ada api dan air saja tak mungkin menghasilkan uap jika keduanya berjauhan tentu. Karena itu yang memungkinkan air mengeluarkan potensi uap airnya adalah posisinya dari api, ini yang disebut dengan sebab formal. Baru setelah ada kedua sebab itu, air yang ada pada dasarnya memiliki potensi uap air kaan berubah menjadi uap air.

Namun bagi Aristoteles hal ini belum mencukupi, masih ada satu sebab lagi yang menyebabkan air berubah mejadi uap air. Yaitu tujuan yang dimiliki air itu. Dunia ini bertujuan, dmeikian ujar Aristoteles, dan tujuannya dalah merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tujuan inilah yang menyambut ketiga sebab yang tadi (adanya ait = sebab material, adanya api = sebab efisien, posisi keduanya yang memungkinkan terjadi pemanasan = sebab formal) sehingga potensi menjadi aktual. Tujuan ini disebut sebagai sebab final.

Bagaimana mungkin air memiliki tujuan? Atau apa yang menggerakkan tujuan pada air itu? Air dengan sendirinya mungkin tak memiliki tujuan, namun Tuhan memiliki tujuan ketika menciptakan air. Lho, kok bicara Tuhan, apa hubungannya? Ya, begitulah Aristoteles. Ia menjawabnya begini: Logisnya, setiap yang bergerak pasti ada yang menggerakkan, namun jika berlaku terus-menerus tentu saja jadi ruwet, karena itu Aristoteles membayangkan adanya penggerak yang tidka bergerak. Ia tidak bergerak - yang dengan cara ini ia tidak membutuhkan penggerak lain lagi - namun ia menjadi penggerak, nilah yang dimaksud dengan penggerak yang begitu sempurnya yang diakitkan Aristoteles denga Tuhan. Dan Tuhanlah yang menetapkan tujuan di semua benda-benda dan dunia ini.

Dalam penerapan yang lain metode teleologiss (kebertujuan segala hal) digunakan untuk memahami forma suatu benda. Artinya, forma suatu benda dapat terketahui melalui penyelidikan tentang maksud/tujuan forma tersebut. Pertanyaan-pertanaan:mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan memiliki forma tertentu. Jadi, forma tidal lagi dimaknai sebagai bentuk yang menunjukkan pola di dunia idea sana ; forma bagi Aristoteles berisi maksud dan tujuan keberadaan suatu benda.

Midalnya, sepotong kapur tulis yang biasa digunakan untuk mengajar di kelas. Mari kita mulai dengan membuat pertanyaan bagi Plato : bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis ini adlaha kapur tulis? Apa yang membuatnya dmeikian? Plato akan mengatakan bahwa ia bisa dikenali karena kita telah memiliki ide tentnag kapur tulis itu. Ingat apa yang tampa (misalnya x) hanyalah bagian dari apa yang nyata Ada (ide tentang x). Jadi, seandainya seluruh kapur tulis di dunia ini dimusnahkan sampai sekian generasi, idenya masih tetap ada dan nyata ; idenya masih merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Kesimpulannya, bagi Plato, benda yang kita anggap kapur tulis itu disebut nyata karena ia bagian dari dunia ide.

Sebaliknya, Aristoteles akan menytakan bahwa kapur tulis yang nyata adalah apa yang bisa diinderai bahannya serta dapat dipikirkan bentuknya. Kapur tulis yang nyata adlaah gabungan antara bahan dan formanya. Sesuatu disebut nyata bukan hanya karena ia memiliki forma yang merupakan bagian dari dunia idea, sambil menafikan keberadaan bahannya. Bahan begitu penting untuk disertakan, karena bahan memiliki kemampuan untuk mengkonkretkan (sebagai contoh nyata) dari forma tersebut dalam kehidupan nyata.

Ide bukan sekadar berarti pola, namun berarti juga maksud/tujuan. Ide kapur tulis dlaam hal ni memiliki tujuan tertentu yang bisa diamati, jika ada suaut benda memnuhi tujuan ide kapur tulis maka ia bisa disebut sebagai kapur tulis. Nah, dengan demikian kapur tulis bisa saja terbuat dair bahan kapur berwarna mera, putih atau kuning asalkan ia memenuhi maksud dari ide kapur tulis tersebut. Maka untuk mengecek kebenaran suatu benda (yang kita lihat) sebagai kapur tulis adalah pengajuan pertanayaan: Untuk apa kapur tulis dipakai? Apa maksud ide kapur tulis disebutkan untuk benda itu?" Kapur tulis dipakai, bila tampil id ruang kelas, untuk menuliskan hal-hal di papan tulis". Apa maksud benda tertentu dianggap kapur tulis, " karena ia bisa menuliskan hal-hal di papan tulis". Jadi, jika sebuah kapur tulis diremukkan; ia tidak bisa disebut lagi sebagai kapur tulis karena benda itu sudah tidak bisa melaksanakan tujuannya. Ini bisa juga berarti substansinya telah musnah, realitasnya sebagai kapur tulis telah berubah.

BAGAIMANA MENG-ABSTRAKSI

Pada Aristoteles kita menemukan tida kata kunci, abstaksi, substansi, dan esensi.

Abstraksi adalah menyingkirkan hal-hal khusus, agar ditemukan yang umum. Yang umum inilah yang dianggap sebagai kebenaran universal.

Substansi adlaah sesuatu yang tetap konstan sementara yang lain berubah, atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk tetap ada secara mandiri. Misalnya, tidak ada senyum tanpa seseorang  (secara substansial) tersenyum. Dengan subtansi ini, Aristoteles memberikan satu titik acuan pada saat kita memikirkan perubahan. Yaitu bahwa dari semua yang tampak berubah sebenarnya terdapat satu unsur yang tetap, substansi. Ia menjadi tempat bergantungnya berbagai unsur dair sesuatu. Jiwa disebut sebagai substansi diri manusia, jika semua unsur dalam diri manusia bergantung pada jiwa.

Istilah ini dihubungkan dengan aksidensi, yaitu kualitas suatu benda yang tanpa dirinya benda itu tetap ada. Aksidensi menempel atau bergantung pada substansi. Apa yang kita amati pada awalnya adalah aksidensi, ia berubah-ubah dan tidak tentu. Namun percayalah, ujar Aristoteles, ia hanya penampakan luarnya saja, karena ia sebenarnya gejala dari substansi.

Esensi adalah kualitas khusus yang mendefenisikan suatu hal yang tanpa kualitas ini sesuatu tidak akan dianggap ada. Misalnya. jika jiwa dianggap unsur esensial bagi manusia maka tanpa adanya jiwa seseorang tidak dapat menjadi manusia.

Nah, marilah kita menggunakan keempat kunci ini bagi kegiatan pemahaman keseharian kita. Yaitu pada proses membaca.
  1. Membaca adalah proses mengerti. Yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.
  2. Mengerti adalah berpikir. Mengerti adalah proses mengubah suatu proses yang tidak dikenal menjadi proses yang dikenal agar anda dapat mengetahui apa yang harus dilakukan terhadapnya. Perubahan ini terjadi di dalam benak sementara anda pergi dari satu gagasan ke gagasan lain hingga situasi yang tak dikenal tampak mirip atau diambil dari situasi yang sudah dikenal. Peralihan dari satu gagasan ke gagasan lain inilah yang disebut berpikir. Pengertian adalah proses berpikir. (Edward de Bono, berpikir lateral) Misalnya, bila anda melihat benada putih bergerak-gerak di tengah malam gelap, reaksi anda barangkali ketakutan dan membayangkannya sebagai hantu posong. Tetapi segera setelah anda dapat melihatnya sebagaisecarik kain pada kawat jemuran, maka anda pun dapat mengetahui apa itu dan apa yang harus dilakukan - yaitu tidak usah takut. Itulah mengerti.
  3. Membaca suatu teks pada intinya adalah menemukan gagasan utama dari teks tersebut. Gagasan utama ini bisa kita sebut sebagai substansinya, karena pada gagasan utama inilah semua gagasan yang lain dalam tulisan itu bergantung. Pada saat yagn sama gagasan utama juga merupakan esensi, karena tanpa gagasan utama tulisan itu tidak akan memiliki arti sama sekali.
  4. Seperti kalimat yang tersusun dari subyek (yang diterangkan, substansi) dan predikat (yang menerangkan, bisa esensi bisa aksidensi), suatu teks secara umum juga terdiri dari subyek dan predikat.
  5. Proses abstraksi dalam membaca berarti menemukan substansi atau esensi dari bacaan tersebut. Jadi pertanyaannya yang diajukan pada saat membaca adlaha, "gagasan apa yang menjadi pusat? Gagasan apa yang jika ia ditiadakan amaka semua yang lain otomatis tidaka da?" atau"Gagasan apa yang dalam setiap halaman selalu menjadi inti pembicaraan - langsung atau tersirat? Jika ditemukan, itulah substansinya atau esensinya.
  6. Setiap teks terdiri dari banyak paragraf, dan setiap paragraf memiliki satu gagasan utama bagi paragraf itu. Menemukan gagasan utama dari teks secara keseluruhan dapat dialkukan dengan membandingkan satu gagasan utama masing-masing paragraf dengan yang lainnya. Misalnya, teks berikut ini:
  • Salah satu kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan  yang telah mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adlah fakta adanya kekeliruan. Fakta ini di satu pihal dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan di lain pihal menimbulkan teka-teki. Meresahkan, karena bagaiman mungkin bahwa dalam banyak hal yang amat penting bagi hidup kita, walaupun sering kali sudah berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja dengan teliti, kita kadang amsih dapat keliru? di lain pihak, fakta tersebut juga merupakan suatu hal yang menimbulkan teka-teki, bahkan suatu yang penuh misteri. Bagaimana mungkin bahwa seseorang peneliti yang diapndang ahli telah bekerja secara teliti dan hati-hati, serta telah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai, pun masih bisa keliru?
  • Selain fakta adanya kekeliruan, hal lain yang membuat orang tercenung dalam pengetahuan adalah kenyataan bahwa mereka yang disebut "pakar" pun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang betul dan mana yang keliru, mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimna mungkin bahwa orang-orang cerdik pandai dan terlatih berpikir canggih seringkali tidak hanya memiliki pendapat yang berbeda tetapi tidak sesuai dan bahkan saling bertentangan satu sama lain?
  • Mengingat hal-hal di atas, tidak mengherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis lalu cenderung mempertanyakan dan meragukannya. Jangan-jangan apa yang selama ini banyak di yakini kebenarannya ternyata kemudian terbukti bersalah. Meragukan kalin kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani Skeptomai yang secara harfiah berarti " saya pikirkan dengan seksama" atau " saya lihat dengan teliti". Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni " saya meragukan"
 Mari kita lihat 3 paragraf ini : cari pikiran utamanya lalu tuliskan menurut bahasa sendiri:
 
Paragraf pertama : kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia.
 
Paragraf kedua : adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama.
 
Paragraf ketiga : Sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.
 
 
Sekarang kita gabungkan ketiganya dalam satu kalimat majemuk :
 
KARENA kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia DAN adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama MAKA MUNCUL sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.

Inilah kesimpulan anda dari tiga paragraf tadi. Setelah itu baca lagi paragraf selanjutnya, simpulkan lagi ke dalam satu kalimat seperti ini, dan seterusnya. Setelah anda menemukan dan menunliskan seluruh kesimpulan (berdasar gabungan antar paragraf) dari seluruh makalah atau satu bab buku, cari lagi kemungkinan penggabungan kesimpulan itu satu sama lain sampai anda menemukan satu kesimpulan. Itulah Pikrian besar dari makalah yang adan baca.Jika diurai akan berbentuk sebagai berikut :

  • Paragraf (selanjutnya disingkat Pr) 1,2,3 disimpulkan menjadi kes A (Kesimpulan A)
  • Pr 4,5,6 menjadi Kes B
  • Pr 7,8,9 menjadi Kes C
  • Pr 10,11,12 menjadi Kes D (anggap saja makalah yang sedang dibaca berisi 12 paragraf)
Setelah terkumpul empat kesimpulan, anda harus mencoba menggabungkan keempat kesimpulan itu menjadi satu kalimat. Kalimat terakhir yang anda simpulkan itulah menjadi pikiran utamanya.

Demikian Artikel kami seputar " Pemikiran Aristoteles "
Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment