Tuesday, November 1, 2016

Umpan Mancing Ikan Cencen dan Aporas Alami Paling Ampuh

Ikan Cencen dan Aporas
Ikan Cencen
Ikan cencen adalah ikan air tawar yang biasa hidup di sungai beraliran, baik aliran sungainya deras ataupun slow. Ikan cencen ini sejauh pengamatan saya bisa mencapai ukuran sebesar ikan mujair ukuran sedang. Di tempat kita Padangsidimpuan, ikan ini disebut ikan cencen, tapi kalau di Jawa disebutnya ikan wader.

Sedangkan ikan aporas adalah ikan yang hampir sama dengan ikan cencen baik dari segi ukuran maupun bentuk, hanya saja ikan aporas memiliki bintik hitam di punggung dan di dekat ekor.

Berdasarkan pengalaman saya memancing, ada empat jenis umpan alami yang bisa kita gunakan sebagai umpan untuk memancing ikan cencen dan aporas. Untuk mendapatkan ikan cencen butuh kepekaan yang tinggi. Teknik memancing ikan cencen dan aporas bisa dengan menggunakan pemberat ukuran sedang sampai ukuran besar tergantung kondisi derasnya arus sungai, 

Sedangkan untuk air yang aliran sungainya tidak terlalu deras kita bisa menggunakan pelampung dengan pemberat ukuran kecil. Butuh kepekaan tinggi untuk mengetahui apakah umpan sedang termakan atau belum.

Ukuran mata kail efektif dan paling bagus untuk memancing ikan cencen dan aporas adalah mata kail ukuran 0,8 atau ukuran 1. Dengan mata kail ukuran 1, saya pernah mendaratkan sekitar 60 an ikan aporas dalam 1 hari mancing.

Berikut ini umpan ampuh untuk memancing ikan cencen dan ikan aporas:

1. Saromborbor alias Laron

Laron untuk umpan mancing
Laron alias Sarimborbor
Umpan yang satu ini tergolong paling menggoda terutama bagi ikan cencen di aliran air sungai yang deras.

Laron sangat senang datang malam hari di lampu-lampu rumah kita. Daripada jadi sampah, kenapa gak kita buat aja jadi umpan mancing ikan cencen ataupun aporas.




Umpan ini juga bisa buat ikan nila atau mujair gak bisa nahan diri. Sambil menyelam minum air, begitu kira-kira, hehe.

Umpan ini termasuk umpan yang tidak mudah hancur di dalam air tapi sangat digemari ikan.


2. Tande-tande alias rayap kayu atau rayap pohon

Ini dia ni umpan yang paling sering saya pakai untuk mancing ikan cencen dan aporas.
Tande-tande alias rayap kayu
Tande-tande
Tande-tande lebih mudah di dapat daripada laron karena tande-tande ini banyak dijual di toko-toko alat mancing beda dengan laron yang belum ada penjualnya. Di wilayah Padangsidimpuan, ada 2 toko alat pancing di wilayah Rajawali Padangsidimpuan yang menjual tande-tande ini, anda bisa cek sendiri kesana. Sampai Oktober 2016 ini harganya kisaran Rp 6000 untuk satu kantong plastik.

Umpan ini juga termasuk yang paling garang. Pengalaman saya dapat sampe 60 an ikan aporas adalah dengan menggunakan umpan ini.

Umpan ini juga termasuk umpan yang tidak mudah hancur dan digemari ikan.
Tangkapan Aporas Kemaren Pake umpan tande-tande


3. Cacing tanah


Cacing tanah termasuk umpan yang tidak mudah hancur tapi kurang diminati ikan cencen dan aporas, tapi terkadang bisa juga digemari ikan. Tergantung lubuknya juga sih. 






4. Lumut Sawah

Lumut sawah juga bisa digunakan sebagai umpan mancing ikan cencen dan aporas. Tapi ini termasuk umpan yang mudah hancur di air. Selain ikan cencen dan aporas, umpan lumut sawah ini juga bisa saja sewaktu-waktu di sambar ikan mujair ataupun ikan nila.


Sekianlah artikel kami tentang umpan alami paling ampuh mancing ikan cencen dan ikan aporas semoga bermanfaat.

Salam jalanhidupkuinspirasimu.blogspot.com ......

Baca juga:  Rangkaian Pancingan Untuk ikan cencen, aporas, garing, dll

Baca Selengkapnya → Umpan Mancing Ikan Cencen dan Aporas Alami Paling Ampuh

Wednesday, October 12, 2016

Pemikiran Aristoteles : Logika Silogisme, Perubahan dan Gerak, serta Abstraksi

Aristoteles (384 SM-322 SM) adalah salah seorang murid Plato dan Guru dari Alexander yang Agung. Berkaitan dengan pemikiran filsafat, mereka memiliki pendapat masing-masing yang bahkan saling bertentangan.

Aristoteles menulis tentang berbagai subyek yang berbeda termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap sebagai satu dari 3 orang paling berpengaruh di pemikiran Barat.

LOGIKA SILOGISME

Logika itu apa?

Logika sering ditemukan dalam bahasa sehari-hari dalam kata logis, misalnya "pendirianmu itu logis" atau " ceritamu itu tidak logis". Logika sebenarnya bukan ilmu yang menambahkan pengetahuan baru, tetapi mencegah kekeliruan untuk memastikan bahwa pengetahuan yang kita anggap baru itu benar. Tujuan mempelajari logika bukan untuk bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh.

Sebelum kita masuk pada bahasan mengenai logika, marilah kita membayangkan bagaimana suatu hal bisa dimengerti. Jika ada seseorang sedang membicarakan suatu masalah, apakah yang membuat kita yang mendengarnya bisa mengerti?

Yang pertama adalah bahwa pembicaraannya jelas menggambarkan kaitan antara satu hal dengan hal lain, tidak tumpang tindih. Yang kedua, cara membicarakannya terdengar sangat bertahap, "selangkah demi selangkah", sampai seluruh kaitan tergambar dengan baik. Nah dari simpulan ini bisa kita katakan bahwa untuk berbicara atau mendengarkan kita membutuhkan satu tatanan pembicaraan  yang rapih dan tertata. Apa yang dibicarakan harus merupakan satu kesatuan yang tertata. Nah, logika berkaitan dengan pola rancangan berpikir itu.

Logika berasal dari kata logos yang berarti "kata". Secara lebih luas bisa kita nyatakan bahwa logika adalah penggunaan kata-kata sedemikian rupa sehingga kata-kata itu membawa kita pada beberapa makna. Kata-kata biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Kalimat yang mengemukakan hubungan maknawi antara dua kata atau lebih disebut proposisi. Misalnya "tanpa berpikir manusia akan tersesat" bisa dipandang sebagai proposisi sederhana; di dalamnya kita menemukan kaitan antara kata "berpikir", "manusia", dan "tersesat" - sekaligus juga kita menemukan suatu simpulan makna.

Proposisi bagi Aristoteles selalu terdiri dari tiga bagian : Subyek, Predikat, dan Copula (penghubung). Misalnya, Socrates dapat mati. Logika kemudian memberikan kerangka pencarian kebenaran bagi yang konkret dengan merujuk pada hal-hal yang bersifat umum. Tentu saja, karena bagi Aristoteles pengertian umum merupakan kebenaran utama, sedang yang konkret sebagai penegas. Kerja logika bisa dikatakan sebagai bentuk kemudian setelah ditemukan esensi dari proses abstraksi rasio pasif. Jadi, setelah ditemukan satu esensi (pengertian umum) kemudian dicoba buktikan dengan mengajukan contoh kasus dari hal konkret.

Misalnya, semua manusia dapat mati adlaah pengertian umum. Lalu dicobabuktikan dengan memasukkan satu kasus konkret : Socrates adalah manusia. Pertanyaannya: apakah Socrates yang amnusia itu juga dikenai esensi " dapat mati "? Ya, tentu saja. Bagaimana proses berpikirnya. Aristoteles mengajukan metode Silogisme. Metode ini merupakan cara penyimpulan yang terdiir dari tiga proposisi atau premis.
  1. Premis mayor (berisi proposisi umum)
  2. Premis minor (berisi proposisi khusus)
  3. Kesimpulan (konsekuensi dari hubungan dua premis mayor dan minor)
Mari kita lihat contohnya:
  1. Semua manusia dapat mati    semua a dapat b
  2. Socrates adalah manusia        c adalah a
  3. Socrates dapat mati                maka c dapat
Proses ini dapat terjadi dan kita lakukan jika kita secara konsisten mengingat tiga prinsip dasar realitas konkret. 
  1. Principium identitatis (prinsip identitas A=A)
  2. Principium contradictionis (prinsip kontradiksi, sanggahan harap dihindari, A bukan -A)
  3. Principium exclusi terium non datur : B=A atau bukan -A (Prinsip mustahilnya kemungkinan ketiga). 
Jadi pada saat membicarakan Socrates ia harus secara pasti merupakan identitas manusia, bukan kucing atau anjing. Jika yang dimaksud Socrates adalah nama seekor anjing, maka kesimpulannya bisa berbeda secara isi.

Logika Aristoteles juga berkenaan dengan definisi, ini pun turunan dari tiga prinsip dasar di atas. Definisi adalah pengertian yang bisa kita berikan pada suatu hal. Bagi Aristoteles pengertian kita tentang sesuatu selalu tersusun dari genus proximum (pengertian luas yang paling dekat) dan differentian specifica (ciri khas, yang spesifik). Kita tak pernah bisa menyatakan bahwa kucing adalah kucing, kita dapat mengenali kucing karena kita bisa menemukan bahwa ia adalah binatang berkaki empat yang mengeong. Dengan cara ini ditemukanlah bahwa kucing yang kita bicarakan adalah kucing yang konkret yang berbeda dengan anjing, kuda atau manusia.

Pada Silogisme dan definisi di atas, terlihat bagaimana Aristoteles masih menggunakan hal universal (hal umum) namun dengan cara yang berbeda dengan gurunya, Plato. Letak perbedaan Aristoteles dari Plato adalah pendiriannya yang menegaskan bahwa yang umum tidak terpisah dari benda-benda konkret, yang umum itu justru terletak dalam diri benda-benda konkret itu.. Ide yang universal (tanpa bisa ditunjukkan ini itunya) tergantung pada yang konkret (ingat 9 kategori tergantung pada substansi). Dengan cara ini pengetahuan atau pengertian umum dapat dicarikan buktinya dalam realitas.

PERUBAHAN DAN GERAK 

Sudah kita tahu, para filsuf alam mempersoalkan perihal gerak dan perubahan. Mereka terjebak pada ekstrem yang memihak satu sisi untuk menolak sisi yang lainnya. Pameneides menyatakan bahwa gerak dan perubahan hanyalah ilusi. Bagi Parmeneides yang ada adalah ada, yang tidak ada adalah tidak ada, jadi tidak mungkin yang tidak ada akan menjadi yang ada, karena itu tak mungkin ada perubahan.

Aristoteles mengemukakan pemikirannya mengenai gerak. Bagi Aristoteles ada tiga tingkatan "ada" dalam realitas ini:
  1. Yang ada
  2. Yang tidak ada
  3. Di antara yang ada dan tidak ada, yaitu yang mungkin ada
Yang mungkin ada dimaksudkan sebagai potensi, sebagai bakat. Lewat potensi inilah yang semula tidak ada menjadi ada. Jika kita memanaskan air dan kemudian ia menjadi uap, ini berarti yang semula tidak ada (uap air) menjelma menjadi ada, konkret terlihat dan terasakan. Bagi Aristoteles keberadaan sejenis uap air itu tidak mungkin ada begitu saja, uap air ada karena air dalam dirinya memiliki potensi bagi pemunculan uap air.

Oleh karena itu, bagi Aristoteles, setiap gerak mewujudkan seuatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada secara terwujud (aktus). Dari dirinya sendiri, air misalnya, pemunculan potensi ke tahap aktus ini tidak bisa diusahakan, untuk itu diperlukan adanya suatu penggeraka yang berasal dari luar dirinya. Apa itu? Tentu saja api yang sanggup memanaskan air. Air adalah sebab efisien (dari luar). Namun, ada api dan air saja tak mungkin menghasilkan uap jika keduanya berjauhan tentu. Karena itu yang memungkinkan air mengeluarkan potensi uap airnya adalah posisinya dari api, ini yang disebut dengan sebab formal. Baru setelah ada kedua sebab itu, air yang ada pada dasarnya memiliki potensi uap air kaan berubah menjadi uap air.

Namun bagi Aristoteles hal ini belum mencukupi, masih ada satu sebab lagi yang menyebabkan air berubah mejadi uap air. Yaitu tujuan yang dimiliki air itu. Dunia ini bertujuan, dmeikian ujar Aristoteles, dan tujuannya dalah merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tujuan inilah yang menyambut ketiga sebab yang tadi (adanya ait = sebab material, adanya api = sebab efisien, posisi keduanya yang memungkinkan terjadi pemanasan = sebab formal) sehingga potensi menjadi aktual. Tujuan ini disebut sebagai sebab final.

Bagaimana mungkin air memiliki tujuan? Atau apa yang menggerakkan tujuan pada air itu? Air dengan sendirinya mungkin tak memiliki tujuan, namun Tuhan memiliki tujuan ketika menciptakan air. Lho, kok bicara Tuhan, apa hubungannya? Ya, begitulah Aristoteles. Ia menjawabnya begini: Logisnya, setiap yang bergerak pasti ada yang menggerakkan, namun jika berlaku terus-menerus tentu saja jadi ruwet, karena itu Aristoteles membayangkan adanya penggerak yang tidka bergerak. Ia tidak bergerak - yang dengan cara ini ia tidak membutuhkan penggerak lain lagi - namun ia menjadi penggerak, nilah yang dimaksud dengan penggerak yang begitu sempurnya yang diakitkan Aristoteles denga Tuhan. Dan Tuhanlah yang menetapkan tujuan di semua benda-benda dan dunia ini.

Dalam penerapan yang lain metode teleologiss (kebertujuan segala hal) digunakan untuk memahami forma suatu benda. Artinya, forma suatu benda dapat terketahui melalui penyelidikan tentang maksud/tujuan forma tersebut. Pertanyaan-pertanaan:mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan memiliki forma tertentu. Jadi, forma tidal lagi dimaknai sebagai bentuk yang menunjukkan pola di dunia idea sana ; forma bagi Aristoteles berisi maksud dan tujuan keberadaan suatu benda.

Midalnya, sepotong kapur tulis yang biasa digunakan untuk mengajar di kelas. Mari kita mulai dengan membuat pertanyaan bagi Plato : bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis ini adlaha kapur tulis? Apa yang membuatnya dmeikian? Plato akan mengatakan bahwa ia bisa dikenali karena kita telah memiliki ide tentnag kapur tulis itu. Ingat apa yang tampa (misalnya x) hanyalah bagian dari apa yang nyata Ada (ide tentang x). Jadi, seandainya seluruh kapur tulis di dunia ini dimusnahkan sampai sekian generasi, idenya masih tetap ada dan nyata ; idenya masih merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Kesimpulannya, bagi Plato, benda yang kita anggap kapur tulis itu disebut nyata karena ia bagian dari dunia ide.

Sebaliknya, Aristoteles akan menytakan bahwa kapur tulis yang nyata adalah apa yang bisa diinderai bahannya serta dapat dipikirkan bentuknya. Kapur tulis yang nyata adlaah gabungan antara bahan dan formanya. Sesuatu disebut nyata bukan hanya karena ia memiliki forma yang merupakan bagian dari dunia idea, sambil menafikan keberadaan bahannya. Bahan begitu penting untuk disertakan, karena bahan memiliki kemampuan untuk mengkonkretkan (sebagai contoh nyata) dari forma tersebut dalam kehidupan nyata.

Ide bukan sekadar berarti pola, namun berarti juga maksud/tujuan. Ide kapur tulis dlaam hal ni memiliki tujuan tertentu yang bisa diamati, jika ada suaut benda memnuhi tujuan ide kapur tulis maka ia bisa disebut sebagai kapur tulis. Nah, dengan demikian kapur tulis bisa saja terbuat dair bahan kapur berwarna mera, putih atau kuning asalkan ia memenuhi maksud dari ide kapur tulis tersebut. Maka untuk mengecek kebenaran suatu benda (yang kita lihat) sebagai kapur tulis adalah pengajuan pertanayaan: Untuk apa kapur tulis dipakai? Apa maksud ide kapur tulis disebutkan untuk benda itu?" Kapur tulis dipakai, bila tampil id ruang kelas, untuk menuliskan hal-hal di papan tulis". Apa maksud benda tertentu dianggap kapur tulis, " karena ia bisa menuliskan hal-hal di papan tulis". Jadi, jika sebuah kapur tulis diremukkan; ia tidak bisa disebut lagi sebagai kapur tulis karena benda itu sudah tidak bisa melaksanakan tujuannya. Ini bisa juga berarti substansinya telah musnah, realitasnya sebagai kapur tulis telah berubah.

BAGAIMANA MENG-ABSTRAKSI

Pada Aristoteles kita menemukan tida kata kunci, abstaksi, substansi, dan esensi.

Abstraksi adalah menyingkirkan hal-hal khusus, agar ditemukan yang umum. Yang umum inilah yang dianggap sebagai kebenaran universal.

Substansi adlaah sesuatu yang tetap konstan sementara yang lain berubah, atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk tetap ada secara mandiri. Misalnya, tidak ada senyum tanpa seseorang  (secara substansial) tersenyum. Dengan subtansi ini, Aristoteles memberikan satu titik acuan pada saat kita memikirkan perubahan. Yaitu bahwa dari semua yang tampak berubah sebenarnya terdapat satu unsur yang tetap, substansi. Ia menjadi tempat bergantungnya berbagai unsur dair sesuatu. Jiwa disebut sebagai substansi diri manusia, jika semua unsur dalam diri manusia bergantung pada jiwa.

Istilah ini dihubungkan dengan aksidensi, yaitu kualitas suatu benda yang tanpa dirinya benda itu tetap ada. Aksidensi menempel atau bergantung pada substansi. Apa yang kita amati pada awalnya adalah aksidensi, ia berubah-ubah dan tidak tentu. Namun percayalah, ujar Aristoteles, ia hanya penampakan luarnya saja, karena ia sebenarnya gejala dari substansi.

Esensi adalah kualitas khusus yang mendefenisikan suatu hal yang tanpa kualitas ini sesuatu tidak akan dianggap ada. Misalnya. jika jiwa dianggap unsur esensial bagi manusia maka tanpa adanya jiwa seseorang tidak dapat menjadi manusia.

Nah, marilah kita menggunakan keempat kunci ini bagi kegiatan pemahaman keseharian kita. Yaitu pada proses membaca.
  1. Membaca adalah proses mengerti. Yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.
  2. Mengerti adalah berpikir. Mengerti adalah proses mengubah suatu proses yang tidak dikenal menjadi proses yang dikenal agar anda dapat mengetahui apa yang harus dilakukan terhadapnya. Perubahan ini terjadi di dalam benak sementara anda pergi dari satu gagasan ke gagasan lain hingga situasi yang tak dikenal tampak mirip atau diambil dari situasi yang sudah dikenal. Peralihan dari satu gagasan ke gagasan lain inilah yang disebut berpikir. Pengertian adalah proses berpikir. (Edward de Bono, berpikir lateral) Misalnya, bila anda melihat benada putih bergerak-gerak di tengah malam gelap, reaksi anda barangkali ketakutan dan membayangkannya sebagai hantu posong. Tetapi segera setelah anda dapat melihatnya sebagaisecarik kain pada kawat jemuran, maka anda pun dapat mengetahui apa itu dan apa yang harus dilakukan - yaitu tidak usah takut. Itulah mengerti.
  3. Membaca suatu teks pada intinya adalah menemukan gagasan utama dari teks tersebut. Gagasan utama ini bisa kita sebut sebagai substansinya, karena pada gagasan utama inilah semua gagasan yang lain dalam tulisan itu bergantung. Pada saat yagn sama gagasan utama juga merupakan esensi, karena tanpa gagasan utama tulisan itu tidak akan memiliki arti sama sekali.
  4. Seperti kalimat yang tersusun dari subyek (yang diterangkan, substansi) dan predikat (yang menerangkan, bisa esensi bisa aksidensi), suatu teks secara umum juga terdiri dari subyek dan predikat.
  5. Proses abstraksi dalam membaca berarti menemukan substansi atau esensi dari bacaan tersebut. Jadi pertanyaannya yang diajukan pada saat membaca adlaha, "gagasan apa yang menjadi pusat? Gagasan apa yang jika ia ditiadakan amaka semua yang lain otomatis tidaka da?" atau"Gagasan apa yang dalam setiap halaman selalu menjadi inti pembicaraan - langsung atau tersirat? Jika ditemukan, itulah substansinya atau esensinya.
  6. Setiap teks terdiri dari banyak paragraf, dan setiap paragraf memiliki satu gagasan utama bagi paragraf itu. Menemukan gagasan utama dari teks secara keseluruhan dapat dialkukan dengan membandingkan satu gagasan utama masing-masing paragraf dengan yang lainnya. Misalnya, teks berikut ini:
  • Salah satu kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan  yang telah mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adlah fakta adanya kekeliruan. Fakta ini di satu pihal dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan di lain pihal menimbulkan teka-teki. Meresahkan, karena bagaiman mungkin bahwa dalam banyak hal yang amat penting bagi hidup kita, walaupun sering kali sudah berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja dengan teliti, kita kadang amsih dapat keliru? di lain pihak, fakta tersebut juga merupakan suatu hal yang menimbulkan teka-teki, bahkan suatu yang penuh misteri. Bagaimana mungkin bahwa seseorang peneliti yang diapndang ahli telah bekerja secara teliti dan hati-hati, serta telah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai, pun masih bisa keliru?
  • Selain fakta adanya kekeliruan, hal lain yang membuat orang tercenung dalam pengetahuan adalah kenyataan bahwa mereka yang disebut "pakar" pun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang betul dan mana yang keliru, mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimna mungkin bahwa orang-orang cerdik pandai dan terlatih berpikir canggih seringkali tidak hanya memiliki pendapat yang berbeda tetapi tidak sesuai dan bahkan saling bertentangan satu sama lain?
  • Mengingat hal-hal di atas, tidak mengherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis lalu cenderung mempertanyakan dan meragukannya. Jangan-jangan apa yang selama ini banyak di yakini kebenarannya ternyata kemudian terbukti bersalah. Meragukan kalin kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani Skeptomai yang secara harfiah berarti " saya pikirkan dengan seksama" atau " saya lihat dengan teliti". Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni " saya meragukan"
 Mari kita lihat 3 paragraf ini : cari pikiran utamanya lalu tuliskan menurut bahasa sendiri:
 
Paragraf pertama : kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia.
 
Paragraf kedua : adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama.
 
Paragraf ketiga : Sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.
 
 
Sekarang kita gabungkan ketiganya dalam satu kalimat majemuk :
 
KARENA kenyataan adanya kekeliruan dalam hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia DAN adanya keberbedaan pendapat di antara para pakar mengenai satu hal yang sama MAKA MUNCUL sikap skeptis (meragukan) terhadap klaim kebenaran pengetahuan.

Inilah kesimpulan anda dari tiga paragraf tadi. Setelah itu baca lagi paragraf selanjutnya, simpulkan lagi ke dalam satu kalimat seperti ini, dan seterusnya. Setelah anda menemukan dan menunliskan seluruh kesimpulan (berdasar gabungan antar paragraf) dari seluruh makalah atau satu bab buku, cari lagi kemungkinan penggabungan kesimpulan itu satu sama lain sampai anda menemukan satu kesimpulan. Itulah Pikrian besar dari makalah yang adan baca.Jika diurai akan berbentuk sebagai berikut :

  • Paragraf (selanjutnya disingkat Pr) 1,2,3 disimpulkan menjadi kes A (Kesimpulan A)
  • Pr 4,5,6 menjadi Kes B
  • Pr 7,8,9 menjadi Kes C
  • Pr 10,11,12 menjadi Kes D (anggap saja makalah yang sedang dibaca berisi 12 paragraf)
Setelah terkumpul empat kesimpulan, anda harus mencoba menggabungkan keempat kesimpulan itu menjadi satu kalimat. Kalimat terakhir yang anda simpulkan itulah menjadi pikiran utamanya.

Demikian Artikel kami seputar " Pemikiran Aristoteles "
Semoga bermanfaat.
Baca Selengkapnya → Pemikiran Aristoteles : Logika Silogisme, Perubahan dan Gerak, serta Abstraksi

Sunday, October 9, 2016

Pemikiran Descartes : Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada)

Rene Descartes (31 maret 1956 - 11 Februari 1650) atau juga dikenal sebagai Renatus Cartesius (dalam literatur bahasa latin) merupakan seorang filsuf dan matematikawan Prancis.

Rene Descartes biasanya dianggap sebagai pendiri filsafat modern. Dia adalah seorang peletak dasar rasionalisme modern dan metode analitik. Bertrand Russel menyatakan, "Hal ini belum pernah terjadi sejak zaman Aristoteles, dan merupakan suatu tanda kepercayaan diri baru yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu.Terdapat suatu kesegaran dalam karyanya yang tidak dapat ditemukan dalam karya-karya para filsuf besar sebelumnya sejak zaman Plato." 

Descartes yang skeptis terhadap kebenaran yang lazim dipercayai pada saat itu, berhasrat untuk menemukan " sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinum ataukah terputus".

Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. "Semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas," tulisnya. " Kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan, dan kita berpendirian bahwa kita hanya percaya pada hal-hal yang benar-benar diketahui dan tidak ada keraguan keraguan tentangnya."

Sebagaimana Galileo, Descartes percaya bahwa bahasa alam adalah matematika. Descartes percaya bahwa kunci alam semesta adalah struktur matematis, dan dalam pikirannya ilmu itu sinonim dengan matematika. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan sifat-sifat obyek fisik, dia menulis, "Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat direduksi dengan kejelasan gambaran matematika dan pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi. Karena semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka saya berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula prinsip-prinsip lain yang diperlukan."

Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukannya,; semua pengetahuan tradisional, kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun,; hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukannya lagi, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pernyataannya yang terkenal, Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada.

Descartes adalah seorang filsuf yang mau mensistematiskan diri manusia seperti mesin. "Kita melihat arloji, air mancur buatan, jantera dan mesin-mesin serupa lainnya yang, meskipun buatan manusia, mempunyai kekuatan untuk menggerakkan dirinya sendiri dengan bermacam-macam cara. Saya tidak melihat perbedaan antara mesin-mesin buatan manusia itu dengan berbagai tubuh yang disusubn oleh alam." Sescartes membandingkan binatang dengan sebuah "arloji..yang terdiri atas....roda dan pegas", dan dia memperluas perbandingan itu hingga tubuh manusia, "Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin...Pikiran saya...membandingkan seseorang yang sakit dengan sebuah arloji yang kurang baik dengan konsep saya tentang seseorang yang sehat an sebuah arloji yang baik".

Mari kita lihat bagaimana Descartes merumuskan pemikirannya.

Tidaklah cukup memiliki akal budi yang baik, yang penting adalah bagaimana menerapkannya dengan baik. Demikian tulis Descartes dalam Discourse de La Methode. Tulisan itu menggambarkan keyakinannya bahwa akal budi memang sumber yang baik untuk memproduksi kebenaran. Namun kal budi untuk tujuan itu membutuhkan cara tertentu yang teratur, sistematis, dan berdasar pada kepastian yang tak teragukan lagi. Dengan kata lain bisa juga dikatakan bahwa Descartes tidak percaya pada semua metode filsafat yang berkembang saat itu.

Descartes memang meragukan metode filsafat saat itu. Ia menolak silogisme Aristoteles, baginya silogisme Aristoteles tidak dapat membawa pada pengertian baru. Alasannya dalam mekanisme silogisme, kesimpulan yang dihasilkan bukanlah pengertian baru. Silogisme hanya berguna untuk menguraikan hal yang telah diketahui sebelumnya.

Descartes juga menulis, ; Andaikata kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian pendapat sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsafat... Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita. 

Pernyataan ini  menggambarkan suatu sikap yang ogah bergantung pada pendapat yang sudah berkembang dalam masyarakat. Ia mau sendiri, ia mau melandaskan pemikirannya tidak berdasar kebenaran-kebenaran umum. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian pendapatnya sendiri.

Hal lain dari pernyataan itu adalah suatu sikap dalam belajar filsafat. Baginya buku filsafat bukan buku sejarah yang menambahkan kita akan sederet nama-nama atau tahun. Buku filsafat adalah sejumlah tide tentang bagaimana memahami realitas dan menemukan kebenaran. Namun semuanya bersifat spasio temporal dan karenanya dibutuhkan kepastian pendapat sendiri ketika membacanya, agar kita tak jadi budak atau keranjang sampah bagi pemikiran-pemikiran tersebut. Kita harus menjadi diri yang tidak tergantung.

Karnea aku mau memberikan diri seutuhnya untuk mencapai kebenaran, aku berpendapat bahwa perlulah aku mengambil jalan yang nampaknya berlawanan dan menolak sama sekali segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang dapat kubayangkan, supaya aku melihat apakah ada kepastian dalam keyakinan itu.

Descartes mencoba untuk merumuskan cara baru dalam merumuskan akal budi dan kebenaran. Ia memulai dengan pengecekan terhadap kebenaran-kebenaran lama, dan mencari "apakah ada kepastian dalam keyakianan itu?" Pertanyaan ini timbul dari kenyataan bahwa filsafat pada saat itu masih berputar-putar pada pemikrian Plato dan Aristoteles, padahal ilmu pengetahuan alam pada saat itu telah berkembang pesat. 

Galileo menyatakan bahwa bumi bukan pusat dunia, namun mataharilah pusatnya. Galileo tak sekedar percaya pada kebenaran lama. Ia melakukan eksperimen dan hasilnya adlah kebenaran baru yang cukup meresahkan pemelihara kebenaran saat itu. Lewat eksperimennya Galileo menemukan kesimpulan bahwa indera kita sangat menipu, akal budilah yang menunjukkan kita pada kebenaran. Dengan kata lain, meskipun tampaknya matahari bergerak melintasi langit dari Timur ke Barat, sebenarnya ia tidak bergerak seperti itu. Akal budi menunjukkan bahwa bumilah yang bergerak, dan justru matahari itu diam. Descartes terpengaruh oleh situasi itu dan ingin mengembangkan filsafat yang terus menerus di bawah kaki Plato dan Aristoteles.

Descartes yakin, kedua tradisi itu pastilah memiliki kesalahan. Suatu kesalahan yang membuatnya merasa sempurna sendiri, dan akibatnya tidak mampu memberikan dorongan bagi keberhasilan lewat penemuan-penemuan lanjutan. Descartes lalu memberlakukan metode kesangsian atas segala sesuatu, " Aku mengambil jalan yang nampaknya berlawanan dan menolak sama sekali segala sesuaut yagn berhubungan dengan apa yang dapat kubanyangkan." Ia ingin mendapatkan kebenaran yang tak tergoyahkan, sekaligus juga menjadi dasar bagi perkembangan lanjutan.

Lantas apa yang bisa kita ragukan? Indera Aristoteles? Ide Plato?

Keduanya, Descartes meragukan keduanya. Ia menyatakan indera sangat menipu kita. Di tengah padang pasir yang luas ada banyak pengalaman yang menunjukkan bagaimana mata kita melihat oase di beberapa kilometer di depan. Namun kenyataannya ia tidak ada. Atau kita juga sering tertipu oleh penglihatan dan fungsi indera lain kita pada saat mimpi, kita merasa dikejar anjing dan kita berkeringan dan ketakutan, karena berlari sepanjang malam. Mental kita menyatakan itu ada, ternyata itu semua hanya  mimpi. Ketakutan, penglihatan dan fungsi inera dengan demikian tidak memberikan dasar bagi kebenaran yang tak tergoyahkan. Suatu kebenaran harus tetap menunjukkan kebenaran di mana pun ia berada, di dunia nyata atu di dunia mimpi.

Pada meditasi kedua ia menulis:

"Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seorang manusia, dan dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih meyakinkan, ketimbang mereka yang kurang waras di dalam saat-saat mereka terjaga. Berapa kali telah terjadi pada diri saya bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk di dekat api, sedangkan  di dalam kenyataannya saya tidur di atas ranjang! Pada saat ini saya merentangkan tangan dan memperhatikannya, apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan tidak sejelas dan serinci ini. Namun di dalam memikirkan kembali hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa. Dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan jelas bahwa tidak ada  petunjuk-petunjuk pasti yang memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara kenyataan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam keraguan."


Semua orang yang pernah bermimpi pasti meraksan suatu pengalaman yang menakjubkan. Soalnya mimpi menyajikan pada kita situasi-situasi yang terasa sebagai nyata. Misalnya, jikat mimpi dikejar anjing tentu saja kita akan penat dan berpeluh karena harus berlarian sepanjang malam. Namun semua itu segera menghilang ketika kitaterjaga, dan sadar bahwa semuanya hanyalah mimpi. Semuanya tidak benar-benar ada. Namun anehnya kita merasakan semuanya seperti benar-benar ada, tampak nyata : anjing itu, atau rasa penat dalam lari.

Dari amsal di atas kita menemukan dua jenis kenyataan:
  1. Kenyataan yang terlihat dalam mimpi,iatampak nyata padahal ia tidak benar-benar ada.
  2. Kenyataan dalam keadaan terjaga,ia menghilangkan kenyataan dalam mimpi dan sanggup membedakan mana mimpi dan bukan mimpi.
Sekarang kita balik lagi pada pengalaman didalam dunia mimpi. Dalam mimpi kita semuanya terlihat nyata. Api yang terasa sama panasnya dengan api di dalam nyata. Api yang dirasakan dalam mimpi sama dengan api yang dirasakan di alam nyata oleh indera kita. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa indera kita merasakan hal yang sama dengan perasaan kita di dalam mimpi. Jika begitu, bisakah kita katakan bahwakenyataan yang dihasilkan indera pada saat jaga sama dengan kenyataan yang dihasilkan mimpi?

Dengan demikian, bisakah kita katakan bahwa inderakita tidak mampu memberikan pemilahan yang jelas mana yang benar nyata dan mana yang hanya mimpi? Sebagaimana badan saya yang tampaknyabegitu benar,demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi; sama-sama begitu jelas. Padahal kenyataannya yang di dalam mimpi hanyalah sekedar khayalan. Jangan-jangan semua hal yang saat ini saya yakini begitu jelas, kenyataannya hasil ulah pikiran saya sendiri ; seperti yang terjadi dalam mimpi. Kalau betul itu terjadi celakalah kita, karena kekasih menjadi tak ada pula, juga ibu dan kampung halaman.

Maka Descartes menyimpulkan seperti itu. Dan karenanya indera tidak bisa diserahi urusan untuk memasok pengetahuan yang terang dan jelas bagi akal budi. Harus dicari hal lain yang bisa menghadirkan di dalam akal budi sesuatu yang benar-benar tak teragukan. Dan Descartes menemukannya :

"Namun akal budi masih menuntut haknya. Akal budi tak menyerah begitu saja. Meskipun seandainyasaya bermimpi,masih terdapat kebenaran yang tidak hancur di dalam malapetaka itu. Yaitu kebenaran yang terjadi baik di dalam keadaan terjaga maupun dalam duniamimpi saya ;  segi empat mempunyai empat sisi baik di dalam mimpi maupun di dalam jaga."

Namun benarkah bahwa kebenaran matematis yagn saya kemukakan benar-benar tidak teragukan lagi kebenarannya? Atau, "bagaimana sayatahubahwa saya tidak menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga," Jadi,apa jaminan bahwa kita tak membuat kekeliruan terhadap suatu hal?

Descartes kemudian membuat hipotesabahwa ketidak mampuan kita menemukan kebenaran,pasti ada penyebabnya. Penyebab itulah yang terus-menerus menggoyahkan kerja akalbudi sehingga tidak pernah bisa menemukan kebenaran sejati. Penyebab itu oleh Descartes diandaikan sebagai sosok si Genius Jahat .

"Maka saya akan mengira bahwa, suatu makhluk jenius yang jahat yang begitu berkuasa dan jahat, telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menipu saya. Maka saya menjadi yakin bahwa semua benda yang saya lihat adalah salah;saya mulai yakin bahwa tak ada suatu pun yang pernah ada sama sekali sebagaimana ingatan saya yang salah telah menampilkannya kepada saya. Saya berpikir bahwa saya tidak mempunyai indera; saya bayangkan bahwa badan, bentuk, keleluasaan, gerakan dan tempat merupakan khayalan pikiran saya. Lalu apa yang dapat dianggap sebagai benar? Mungkin tak ada satu pun,kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti."

Kemudian pada bagian lain Descartes menulis:

"Bagaimana saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berbeda dari hal-hal yang telah saya pikirkan,yang mengenainya tak ada keraguan sedikitpun? Saya sendiri, bukankah sekurang-kurangnya merupakan sesuatu? Tetapi telah saya sangkalbahwa saya mempunyai indera dan badan. Tetapi saya ragu,apa yang menjadi akibatnya? Apakah saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tak dapat ada tanpa kedua hal itu? Tetapi saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tak dapat ada tanpa kedua hal itu? Tetapi saya telah yakin bahwa tidak ada sesuatu pun di seluruh dunia, tak ada surga, tak ada bumi, tak ada budi, dan tak ada badan: Apakah saya juga yakin bahwa saya tidak ada? Sama sekali tidak; saya tentu saja adasebab saya meyakinkan diri saya mengenai sesuatu. Padahal ada seorang penipu atau yang lain, yang sangat kuasa dan sangat licik, yang selalu menggunakan kepintarannya untuk menipuku. Maka tanpa sangsi saya tetap ada bahkan seandainya dia menipu saya, dan biarkan dia menipuku semau-maunya, ia tidak dapat menyebabkan saya menjadi tidak ada sejauh saya berpikir bahwa saya merupakan sesuatu. Maka setelah merefleksikan dan memeriksasegala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan hati-hati, kita harus sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa pernyataan ini : aku ada, saya berwujud hadir, mutlak benar setiap kali aku mengemukakannya atau aku mengkonsepsikannya di dalam pikiran."

Dua kutipan tersebut terlihat jelas apa yang ingin di kemukakan Descartes :
  1. Ketika saya menyadari bahwa ada si genius jahat yang menipu saya,sehingga tak ada satupun kenyataan yang benar-benar nyata. Maka saya yakin bahwa semua benda yang saya lihat adalah salah.
  2. Konsekuensi lain dari pernyataan 1 adalah : tak ada satu pun yang benar,kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti.
  3. Ketika saya meragukan segala kepastian di dunia ini. Adakah saya juga pasti tidak ada? Jika tidak ada, siapakah yang menyatakan bahwa segala sesuatu diragukan? Tentu saja ketika itu ada susuatu yang melakukan tidakan meragukan,dan itu adalah saya.Yaitu eksistensi dari subyek yang meragukan segala sesuatu.
  4. Karena meragu merupakan bagian dari kerja cogito maka dapat dikatakan bahwa cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Cogito inilah yangkemduian dijadikan dasarbagi filsafat Descartes,bukan idea Plato atau indera Aristoteles.Yang dimaksudkan dengan cogito adalah kesadaran secara umum,yang secara rinci dan meragukan secara terus-meneruis sampai menemukan suatu kebenaran yang tak dapat diragukan lagi.

Lebih lanjut Descartes menyatakan bahwa substansi manusia adalah cogito. Substansi ini hanya dimiliki oleh manusia.

TUHAN SEBAGAI PENJAMIN

Teori ini kita mulai dengan mempertanyakan kembali hasil pemikiran Descartes pada bagian Cogito Ergo Sum?

Descartes memusatkan perhatiannya pada apa yang disebut sebagai "yang tunggal",yang jelas bagi dirinya sendiri, danmasuk akal. Perhatian initentubisa dilihat sebagai jawaban bagiproses "meragukan segala hal". Apa yang selalu ditekankan Descartes adalah sifat intuitif dari pengetahuan.Yaitu kebenaran yang clear and distinct, yaitu sesuatu yang sedemikian tanpa keraguan karena dirinya sendiri. Maka bagi Descartes, "kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat dalam ide yang clear and distinct atau "semua hal yang ditangkap dengan sangat clear and distinct adalah pasti benar".Dan Descartes pada bagian Cogito Ergo Sum menunjukkan bagaimana ide itumuncul begitu terang dan jelas,tak bisa diragukan lagi.

Persoalannya adalah siapakah yang menjamin bahwa akal budimemang bisa menemukan idea clear and distinct? Darimana ide clear and distinct itu ada dalam diri manusia?

Ide clear and distinct telah digambarkan sebagai pengetahuan tak bersyarat, ia begitu sajadan tak terbantahkan.Ide clear and distinct adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan.Maka jawab atas pertanyaan itu adalah,hanya yang tak terbatas dan sempurna yang dapat mengakibatkan ide itu ada dalam diri manusia.

Aku yang mempunyai tentang "ada" yang sempurna yang clear and distinct.Untuk dapat menghasilkan koncepsi semacam itu dengan daya sendiri, aku seharusnya sempurna.Namun walaupun aku ada,tetapi aku tidak menyebabkan diriku sendiri. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan ada. Dan Tuhan dipikirkan sebagai substansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar "ada" sendiri.

DUNIA LUAR SEBAGAI EKSTENSA

Lalu bagaimana dengan badan? Apakah ia benar-benar ada,atau ia juga hanya ilusi?
"Aku yang berpikir merupakan hal berpikir yang murni.Namun aku dapat ragu-ragu tentang badanku: apakah ada atau tidak ada? Kalau itu mungkin,maka badanku itu berjarak-jauh secara nyata dengan hal berpikir tandi. Memang belum diberi bukti mengenai adanya badan,mungkin itu hanyakesan psikologis. Tetapi dari lain pihak aku mempunyai konsepsi yang tegas tentang hal seperti ekstensi (terarah ke luar),jumlah, letak dan sebagainya. Apakah mungkin itu hal yang nyata?".

Pada kutipan di atas,Descartes menyadari bahwa pada satu sisi badan (juga indera) diragukan sebagai dasar menghasilkan pengetahuan,namun pada sisi lain akal budinya memiliki konsepsi mengenai jumlah, letak, yang terukur, dan lainnya yang tentu harus diterimanya secara benar.Bukankah ia telah menerima hanya akal budi saja yang benar?saat itu ia memasuki pertanyaan baru, kalau demikian apakah badan juga sesuatu yang nyata ada?

Untuk menjawab pertanyaan itu,ia kembali pada argumen keberadaan sesuatu.Pada bagian sebelumnya ia telah menyatakan bahwa ia ada dan memiliki cogito karena ada sang penjamin, yaitu Tuhan. Karena Tuhan pastiada,maka pastilah saya dan cogito saya ada.Hal yang sama dituliskan Descartes untuk merumuskan keberadaan benda dan dunia materi.

"Tuhan menjamin obyektivitas pikiranku. Jadi konsepsi jelas tadi tentang ekstensi dan lain-lain itu ebyektif, maka dunia luar itu riil. Dan badan memang ada sebagai ekstensi murni. Dua sifat yang telah saya kenal adalah berpikir (ruhani), dan berekstensi (jasmani), keduanya adalah sifat-sifat pokok dan semua hal lain diarahkan pada kedua sifat tersebut. Keduanya tidak dapat direduksikan yang satu pada yang lain. Tapi sifat itu selalu berakar pada substansi. Jadi ada substansi pokok,yaitu pikiran  dan ekstensi. Lalu subtansi berarti : hal yang ada sedemikian rupa,sehingga tidak membutuhkan atau mensyaratkan hal lain bagi adanya".

Descartes seperti sedang menyatakan bahwa jika cogito itu dijamin oleh keberadaan Tuhan, maka kerja akal juga berada dalam jaminan Tuhan. Karena itu apa yang dipikirkan oleh cogito sebagai ada pastilah ada juga secara riil. Jadi dunia luar atau badan itu ada. Namun berbeda sifatnya dengan pikiran.

Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak megnambil tempat dalam ruang dan kearenanya tidak dapat dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.Tapi dunia luar (selain kesadaran) atau badan adalah materi yang cenderung melakukan perluasan ke luar (ekstensa), dan mengambil tempat dalam ruang,karenanya dapat selalu dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.

CARA KERJA RASIONALISME DESCARTES

Temuan Descartes telah menghancurkan Aristoteles (yang menyatakan bahwa substansi ada adalah forma dan bahan yang bisa dicerap oleh indera), juga Plato yang menyatakan idea (pikiran) sebagai pemilik pola alam raya.Akal budi bukan pola,namun penjelajah yang hendak menemukan sebabsegala sesuatu dengan cara meragukan. Akal budi adalah daya dalam diri manusia yang sanggup mengantarkan manusia pada penemuan hakikat segala sesuatu.

Lalu bagaimana cara kerjanya?

Inti dari Filsafat Descartes secara sederhana bisa dikemukakan sebagai imbauan untuk mencari kebenaran yang menghadirkan kenyataan yang taktergoyahkan, yang benar-benar tak bisa diragukan lagi.
Descartes mengajakkita untukmencari kenyataan yang terang dan jelas pada akal budi, yang tak teragukan lagi. Caranya:
  1. Tidak menerima sesuatu sebagai benar, kecuali terbukti benar.
  2. Untuk membuktikan kebenaran suatu hal, kita harus:  menghindari kesimpulan yang tergesa-gesa dan  menghindari dugaan terhadap suatu hal.
  3. Kenyataan yang terbukti benar adalah " apa yang datang secara terangdan jelas pada akal budi". sesuatu yang takmungkin lagi dapat kita ragukan.
 Bagaimana akal budi bisa menghasilkan pengetahuan yang benar?

Ada dua kerja yang pokok pada akal budi, yaitu intuisi dan deduksi.
  1. Induksi diartikan sebagai penglihatan pikiran yang sedemikian terang dan jelas sehingga tak ada satupun lagi yang dapat diragukan olehnya.Intuisi bisa dipandang sebagai hasil setelah akal budi terus-menerus melakukan peraguan akan segala hal. Di ujung proses keraguan itupastilahj ada satu substansi, yang tetaptertinggal walaupun yang lainnya sudah ditinggalkan.
  2. Deduksi adalah semua penurunan yang perlu dibuat dari apa yang didapatkan oleh intuisi.Ini adalah cara kedua setelah intuisi menyajikan satu substansi.
Bagaimana cara kerjanya?

Bagaimana cara memfungsikan intuisi dandeduksi dalam akal budi kita sehingga menhyasilkan pengetahuan yang benar?

Bagi Descartes ada empat patokan yang harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar.

Patokan pertama:
Seorang filsuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta). Clara secara sederhana bisa diartikan sebagai yang terang (tidak terselubungi oleh apapun kecuali obyek yang kita amati), sedang distincta adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi.

Patokan kedua :
Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu dalam bentuk pertanyaan: mengurai sebuah pernyataan yang masih gelap menjadi pernyataan-pernyataan sederhana. Dengan cara itu kita bisa mengurai kenyataan yang lebih sederhana (tidak ruwet lagi) yang berarti pada saat itu kita menemukan kenyataan yang terang, clear. Patokan kedua ini disebut sebagai pola analisis (pemerincian suatu masalah menjadib agian-bagian untuk mendapatkan kebenaran, yaitu kenyataan yang tak terbagi lagi).
Patokan kedua ini bisa juga kita katakan bahwa bagi Descartes kebenaran yang "terang" (clara atau clear) adalah kebenaran yang "tak terbagi lagi" (jelas atau distinc). Dengan kata lain, kebenaran intuitif adalah kebenaran yang sederhana atau "tak terbagi" itu.

Patokan ketiga:
Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap clear et distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan itu. Ini adalah pola kerja sintesa atau perangkaian. Dalam sintesa ini kita memulai suatu pengetahuan dari hal yang sederhana (yang clara et distincta lalu dengan cara teratur kita susun setahap demi setahap untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih luas.

Patokan keempat:
Patokan keempat ini bisa disebut sebagai suatu pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan itu adalah pengetahuan yang clara et distincta yang benar-benar tak memuat suatu keraguan pun. Pola ini bisa kita sebut sebagai tahap verifikasi.

Kesimpulan:
Ada tiga pemikiran penting pada Descartes :
  1. Cogito ergo sum (Saya berpikir maka saya ada).
  2. Tuhan sebagai penjamin.
  3. Realitas sebagai ekstensa.



Demikianlah  artikel seputar Pemikiran Descartes
Semoga Bermanfaat
Baca Selengkapnya → Pemikiran Descartes : Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada)

Friday, September 30, 2016

Cara Paling Sederhana Untuk Memikat Lawan Jenis


Ini merupakan cara paling sederhana untuk memikat lawan jenis. Bisa diterapkan oleh pria maupun wanita. Caranya hanya dengan mendengarkan musik.
Bagi Pria apabila Cara ini  digabungkan dengan cara memikat wanita dalam waktu 5 detik akan memunculkan hasil yang sempurna. 

Kenapa harus dengan musik?


Pernahkah anda mendengar, apabila sering mendengarkan musik beethoven bisa memacu peningkatan kecerdasan otak seseorang?

Pernahkah anda membaca buku yang menyatakan bahwa mendengarkan nada-nada pada frekwensi tertentu bisa membantu kita lebih mudah melakukan astral projection? Astral projection ini adalah termasuk ilmu mistis tingkat tinggi, dalam bahasa kita disebut dengan Meraga Sukma.

Atau pernahkan anda membaca buku yang menceritakan bahwa apabila air dibacakan dengan Fatihah akan mampu merubah susunan partikel-partikelnya menjadi lebih indah? secara pengertian sains bunyi bacaan Surah Fatihah hanyalah getaran yang keluar dari kerongkongan manusia. Getaran itu adalah bunyi, sedangkan bunyi yang teratur itu adalah nada. Sedangkan nada getaran yang dimunculkan oleh bacaan Surah Fatihah berada pada frekuensi tertentu yang memicu air untuk berubah bentuk menjadi bentuk yang lebih indah. Dan tahukah anda bahwa lebih dari 90% tubuh manusia terisi oleh air? 95% kandungan darah adalah air, sedangkan 90% kandungan otak adalah air.

Dengan pernyataan di atas, apakah anda masih bisa menyangkal bahwa nada pada frekuensi tertentu bisa mempengaruhi manusia? Bahwa air bisa mempengaruhi mental dan otak manusia?

Ya, penulis langsung saja ke inti pembicaraan bahwa cara paling sederhana untuk memikat lawan jenis yang penulis maksud adalah dengan mendengarkan musik .mp3 binaural beats yang bisa memicu gelombang tertentu pada otak sehingga mensugesti kita untuk menjadi orang yang menarik bagi lawan jenis.

"Soulmate binaural beats" banyak tersedia di internet, anda bisa lacak di google atau anda cek di youtube, kemudian download dan lalu dengarkan lewat headset.

Atau anda bisa download di link di bawah ini.

atau dengan mengunjungi situs resminya di 

" http://free-binaural-beats.com/soulmate-attraction/  "


Atau juga dengan mengunjungi link video youtubenya di bawah ini 

https://youtu.be/EEdRGuZ-33U

Musik Soulmate Binaural Beats paling bagus didengarkan dengan menggunakan headset atau headphone yang punya lambang R dan L (R maksudnya untuk telinga kanan, L untuk telinga kiri).
Mendengarkan musik binaural beats tersebut bisa sambil meditasi, sambil berzikir ingat Allah, sambil tiduran dan lain-lain, pokoknya santai deh.

Semoga artikel " Cara Paling Sederhana untuk memikat lawan jenis" ini bisa bermanfaat. 
Selamat Mencoba...



Baca Selengkapnya → Cara Paling Sederhana Untuk Memikat Lawan Jenis

Thursday, September 22, 2016

Pemikiran Plato : Logos dan Cara Menemukan Kebenaran (Dunia Ide)

Plato (427 SM-347SM ) adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani. Penulis Philosophical dialogs dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, Sekolah Tinggi pertama di dunia Barat. (Wikipedia).

LOGOS

Apakah Logos itu?
Plato menyebutkan bahwa pasti ada sebuah realitas di balik dunia materi. Dia menyebut realitas ini dunia ide, di situ trsimpan "pola-pola" yang kekal dan abadi. Pola-pola itu tak bisa ditemukan beigtu saja dengan sekali lihat, ia membutuhkan pemikiran yang menggunakan akal. Kemampuan akal menemukan pola itu disebut sebagai ide. Logos adalah humkum yang menguasai segala sesuatu, yang juga menguasai manusia, disini logos berarti dunia ide. Namun logos kerap dimaknai juga sebagai pikiran yang sanggup menangkap hukum Logos, di sini logos berarti idea.

Bagi Plato kenyataan yang kita alami di dunia ini hanyalah bayangan dari logos, sebagai bayangan tentu saja tidak memiliki keberadaan yang mandiri. Bayangan ada karena ada benda yang dipantulkan cahaya. Ada yang sejati atau Logos (dengan "L" besar) adalah sumber dari bayangan, sumber dari kenyataan duniawi ini. Namun pada diri kita masing-masing terdapat bagian dari ada sejati itu, seperti yang dikatakan oleh Socrates bahwa masing-masing manusi memiliki "jiwa yang baik" yang merupakan bagiandari Tuhan. Nah, bagian yang berada di dalam diri kita itu disebut sebagai logos  juga (dengna "l" kecil).
Lebih mudahnya, kita mengutip amsal Jostein Gaardner:

"Jika kamu lihat kue pancong, kamu menemukan bentuk kue yang sama. Berapa pun kamu beli kue itu, semuanya berbentuk sama bukan? Setengah elips, seperti bulan setengah.
Pertanyaannya, kenapa semuanya berbentuk sama?
Kamu bisa jawab, Tentu saja, mudah. Karena kue itu dibuat dalam satu cetakan yang sama. Semua adonan dibuat oleh mamang tukang pancong dalam cetakan yang sama. Jadi wajar saja jika semuanya memiliki bentuk yang sama."


Gaardner membicarakan perihal "pengenalan bentuk" dan "penemuan cetakan". Cetakan kue pancong tentu saja tidak berada di dalam kue pancong, ia terpisah namun menjadi penentu bentuk dari kue pancong. Tanpa "cetakan" tak akan ada kue pancong, yang ada hanyalah adonan tepung dalam bentuk pasta. Cetakan itu adalah Logos, dunia ide yang menyimpan pola-pola ada sejati yang berada terpisah dari kenyataan benda-benara duniawi.

Sebelum menemukan kesimpulan bahwa ada cetakan yang menyebabkan kesamaan kue pancong, kita mengenali adanya kesamaan bentuk dari kue-kue pancong tersebut. Pengenalan kesamaan bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh pikiran dengan cara membandingkan satu kue degnan kue lain. Indera hanya mencerap benda-benda, ia tak pernah bisa membandingkan satu hal dengan hal lain. Di sinilah, pikiran disebut logos (dengan "l" kecil" karena kemampuannya dalam mengenali bentuk dan menghubungkannya dengan cetakan.

Plato di sini menegaskan perbedaan antara "dunia yang berubah"  dan "yang kekal" sekaligus juga mengusung persoalan cara mengenali keduanya; bagi Plato panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu, dan akal tidak dapat mencerap sesuatu. Hanya bila kedua-duanya bergabung timbullah pengetahuan; mencerap tanpa dibarengi proses berpikir akal budi sama dengan kebutaan, pikiran tanpa isi dari indera sama dengan kehampaan.

Puncak-puncak pengetahuan baru tercapai, bila kesatuan antara pengetahuan inderawi dan akal budi sama-sama dialami. Demikianlah kira-kira pengertian tentang ide sebagai lawan dari indera. Idea memang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan arti "melihat", jadi idea bagi Plato bagaimanapun terkait juga dengan kerja indera (menerima data dari indera baru kemudian muncul idea dalam ruang pikiran) bukan sesuatu yang abstrak (terlepas begitu saja dari realitas).

Lalu Bagaimana Cara Akal Untuk Mendapatkan Ide?

Plato adalah salah seorang murid Socrates yang dengan setia meuliskan seluruh gagasan gurunya. Lebih dari itu kekagumannya pada Socrates membuatnya menuliskan segala pemikirannya sebagai ucapan Socrates.

Pada Socrates kita telah menemukan rumusan inti dari ajarannya, yaitu kebaikan adalah pengetahuan. Rumusan ini menimbulkan pertanyaan dalam diri Plato : Apakah pengetahuan itu? Bagaimanakah cara manusia mendapatkan pengetahuan?

Untuk jawaban pertanyaan ini, Plato menuliskan suatu cerita :

"Bayangkanlah orang-orang di dalam semacam tempat tinggal di bawah tanah yang berbentuk gua dengan jalan masuk yang panjang. Jalan itu terbuka menghadap sinar matahari. Sejak mudanya orang-orang itu di sana dengan kaki dan leher yang terikat, sehingga mereka tidak dapat meninggalkan tempatnya dan hanya dapat melihat ke depan saja. Orang-orang seperti mereka itu tidak pernah dapat melihat apa-apa  selain dari bayangan-bayangan di dinding depan mereka, dan mereka mengira, bahwa mereka dengan memberikan anam kepada apa-apa yang mereka lihat, telah memberikan nama kepada kenyataannya sendiri"

Plato menganggap bahwa pengetahuan kita akan kehidupan persis seperti manusia gua itu. Seluruh nama-nama, konsep kebenaran dan keyakinan tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya. Semua berdasar pada bayangan dari kenyataan yang sebenarnya. Bayangan itu sebagian dari kenyataan, dan "seorang pecinta kearifan menghendaki seluruh kebijaksanaan bukan hanya sebagiannya saja", demikian tulis Plato.

Bayangan itu adalah "pendapat tentang kenyataan" (eikasia), ia bisa berasal dari amatan orang lain yang kita anggap lebih ahli atau berasal dari kepercayaan umum. Namun, sehebat-hebatnya pendapat orang lain adalah milik orang lain bukan milik kita sendiri. Padahal pengetahuan yang mengarahakan kebahagiaan adalah pengetahuan yang kita alami sendiri, yang kita sadari secara utuh. Pendapat orang lain tentang kenyataan disebut eikasia, yang secara bebas bisa diartikan sebagai ilusi atau gosip. Eikasia tidak akan mengantarkan manusia pada kearifan, malah akan membuat orang terjerembab dalam kesalah yang fatal yaitu tidak menemukan kebahagiaan dalam hidup.

Untuk itu, bagi Plato, kita harus mencari sumber bayangan tersebut. Setiap bayangan tentu hasil dari penyinaran suatu benda. Bentuk-bentuk hitam bayangan yang kita lihat di dinding berasal dari benda-benda asli yang warna-warni dan tidak hanya pendpat orang lain, seharusnya merasa penasaran untuk mengetahui secara langsung apa yang menjadi dasar dari pendapat itu. Kita harus melihat langsung kehidupan nyata yang semula hanya bayangannya saja yang kita terima. Setelah kita melihat benda-benadanya secara langsung kita menemukan sesuatu yang berbeda. Kita sanggup menghasilkan pendapat senddiri berdasarkan apa yang kita lihat. Tetapi, cara ini pun menyimpan kesalahan yang menyesatkan kebagaiaan kita. Pengetahuan yang hanya berdasar pada apa yang terlihat disebut pistis, dan bagi Plato pistis merupakan jalan menuju kesesatan. Salah satu sebabnya adalah bahwa apa yang kita lihat belum tentu menggambarkan keseluruhan obyekitu, padahal menurut Socrates setiap benda memiliki pengertian umum, Bertumpu pada penglihatan, pada inedrawi, membuat kita terjebak pada bagian-bagian yang membuat kita tak bisa memperluas cakrawala pengetahuan.

Misalnya, suatu pagi seseorang melihat kucing hitam dan menamainya sebagai "kucing", beberapa saat kemudian ia melihat binatang yagn bentuk dan ukurannya sama, namun warnanya putih; binatan kedua ini tidak bisa ia namakan sebai "kucing". Kenapa? Karena pengetahuan inderawi bertumpu pada apa yang tampak, warna salah satunya. Perbedaan warna menghambat kita untuk menyatakan "kucing hitam" dan "kucing putih" sebagai jenis binatang yang sama. Di sinilah dibutuhkan pengertian umum, yaitu pengertian tentang suatu hal yang tidak terjebak pada bagian-bagian seperti warna.

Untuk itu Plato tidak percaya pada pengetahuan yang besumber dari pengamatan inderawi. Bayangkan saja, jika kita hanya percaya pada sumber inderawi, kita membutuhkan banyak nama untuk satu jenis binatang seperti kucing; kita akan kerepotan menghapal nama-nama karena semua hal dianggap berbeda dan harus memiliki satu nama yang mandiri. Maka Plato merasa perlu untuk memperlengkapi daya inderawi dengan daya berpikir abstraks (dianoia) . Maksudnya, kita harus menemukan pengertian umum dari apa yang diberikan oleh indera. Cara untuk menemukan pengertian umum disebut sebagai abstraksi, yaitu kegiatan menyingkirkan bagian-bagian dari suatu benda sehingga yang tersisa adalah ciri umumnya saja. Yang terlihat oleh indera dianggap oleh daya dianoia sebagai simbol dari hal-hal yang non-inderawi.

Namun dianoia pun bagi Plato belum memberikan pengetahuan sejati. Dianoia masih menggunakan data inderawi dalam menghasilkan pengetahuan, padahal pengetahuan yang baik, bagi Socrates, adalah pengetahuan berdasar pada "jiwa yagn baik" (eudaimonia). Karena itu, pengetahuan sejati bagi Plato harus berdasarkan pada penglihatan jiwa (noesis).

Keempat tahap pengetahuan ini digambarkan Plato dalam Symposium. Plato menyatakan bahwa kita tak pernah dapat megnenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu mengenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu mengenal bagian terdalam dari diri seseorang. Pertama kali kita mengenali seseorang tentu berdasar kabar mengenai orang itu, kabar itu memberikan banyak praduga dalam diri kita. Lalu pada saat kita melihatnya secara langsung, sebagian praduga itu berguguran, karena melalui pandangan inderawi sendiri kita menemukan keindahan tubuh yang lebih dari apa yang digambarkan orang lain. Kemudian, dengan mencintai keindahan tubuh yang kita lihat, kita akan mencintai bukan lagi keindahan yang kita lihat itu melainkan juga sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu jiwa yang indah. Dari sana kita menuju cinta akan pemikiran dan ide-ide yang indah, lalu kita bergerak menuju cinta sejati.

Menilai berdasarkan kabar orang lain adalah eikasia, menilai dan tertarik berdasar penglihatan langsung adalah pistis; menemukan keindahan yang tidak kelihatan adalah tahap dianoia; dan menemukan cinta sejati adalah tahap noesis.

Contoh lain bisa diambilkan lagi dari amsal Jostein Gaardner di atas. Ia memberikan amsal yang lebih mudah dimengerti:

Jika kamu lihat kue pancong, kamu menemukan bentuk kue yang sama. Berapa pun kamu beli kue itu, semuanya berbentuk sama bukan? Setengah elips, seperti bulan setengah.
Pertanyaannya, kenapa semuanya berbentuk sama?
Kamu bisa jawab? tentu saja, mudah. Karena kue itu dibuat dalam satu cetakan yang sama. Semua adonan dibuat oleh Mamang Tukang Pancong dalam cetakan yang sama. Jadi wajar saja jika semuanya memiliki bentuk yang sama.

Bentuk-bentuk kue pancong adalah apa yang kita lihat (pistis). Masing-masing seperti mandiri, terpisah satu sama lain. Namun jika kita bandingkan satu sama lain, ada kesamaan yang dimiliki  semua kue pancong itu, ia berbentuk setengah elips. Kenapa semuanya berbentuk sama? Inilah pertanyaan yang mengarahkan kita pada tahap dianoia, yaitu usaha untuk menemukan yang tidak inderawi dari obyek pengamatan kita. Sedangkan kesimpulan bahwa "kue itu dibuat dalam satu cetakan yang ama" merupakan pengetahuan noesis. Yaitu jenis pengetahuan yang tidak bersandar pada penglihatan inderawi, namun pada penyebab yang menjadikan apa yang terlihat secara inderawi.

Pembicaraan noesis mengiring kita pada pembahasan tentang jiwa dalam pemikiran Plato. Jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri, ia berasal dari dunia idea dan karenanya bersifat kekal, tidak dapa mati. Jiwa memiliki tiga bagian:
  1. Bagian akal, yang mencita-citakan kebijaksanaan.
  2. Bagian kehendak yang mencita-citakan keberanian, dan
  3. Keinginan atau nafsu, yang harus dikendalikan sehingga kesopanan dapat ditegakkan.
Bagaimana ceritanya jiwa yang kekal itu bisa terperangkap dalam sangkar daging tubuh?

Plato memiliki cerita mengenai hal ini : Konon jiwa itu laksana sebuah kereta yang bersais (yang dikendalikan oleh rasio), yang ditarik oleh dua kuda bersayap : yaitu kuda kebenaran yang lari ke atas, ke dunia ide ; dan kuda keinginan atau nafsu yang lari ke bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik menarik itu kuda keinginanlah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dihukum penjara dalam sangkar daging (tubuh).

Jiwa yang berasal dari dunia idea tentu saja sebelumnya telah menemukan seluruh pola-pola yang menjado asal kenyataan di dunia ini. Pengalaman jiwa inilah yang memuat akal pikiran bisa menemukan bayangan pola-pola dari benda-bendar terinderai. Pola-pola yang membuatnya teringat pada pola-pola di dunia idea. Inilah teori pengingatan ulang (rekoleksi). Jadi bagi Plato pengetahuan tentang kebenaran secara alami sudah ada, mendekam, dalam diri seseorang sebelum ia mampu belajar lewat pengalaman dan observasi. Namun ia terperangkap oleh cara pandang indera, karena itu manusia harus mengingat kembali pengetahuaannya dengan cara menemukan pola-pola yang dapat ditemukan dari benda-benda terinderai.

Cara Menemukan Dunia Ide alias Kebenaran

Mari kita buat urutan pengetahuan menurut Plato :Eikasi, Pistis, Dianoia, dan Noesia. Dari kesemuanya itua da yang menunjuk pada kepahaman yang salah (Doxa), yaitu Eikasia dan Pistis; dan ada yang menunjuk pada kepahaman yang arif (episteme). Namun yang menarik dari Plato adalah bahwa dari doxa itu, jika kita terus menerus menelusuri formanya akan sanggup mencapai pada kearifan. Hal ini bisa terjadi, karena yang disebut doxa adalah pengetahuan yang dicerap melalui indera, yang justru data-data indera itu dibutuhkan bagi penemuan kearifan (episteme).

Dari kaitan ini kita dapat belajar bahwa tak ada kesalahan atau kejahatan yang abadi, hanya kebaikan dan kearifan saja yang abadi. Dalil ini memberi ruang kebahagiaan tersendiri agi kita, terlebih kita seringkali merasa sedih dan tersingkir ketika menyadari adanya kesalahan dalam kesadaran kita. Menurut Plato, sekali lagi, kesalahan justru jalan menuju kebenaran. Tentu saja, dengan syarat kita menyadari kadar kesalahan itu; dengan modal kesadaran akan kesalahan, akan kebebalan kita dapat menemukan kearifan.

Bagaimana Caranya? 
 Mari kita gambarkan skema penemuan ide / kebenaran menurut Plato
Eikasia dan Pistis dianggap sebagai doxa (pemahaman yang salah), sedang Dianoia dan Noesia adalah Episteme (pemahaman yang benar). Doxa bagi Plato tidak harus dibuang, namun dijadikan modal sebagai jejak menuju episteme. Jadi dapat kita simpulkan bahwa kesalahan merupakan awal dari ditemukannya penemuan kebenaran. Ini tentu agak mirip dengan Socrates Sang Guru, ia juga bertugas tanpa lelah untuk melahirkan kebenaran dari anggapan yang salah.

Namun bagaimana kita dapat menemukan idea (Sebagai kebenaran tertinggi) dari apa yang kita amati? Socrates, dengan tegas, menggunakan cara dialog; lalu Plato seperti apa?

Eikasia dan Pistis adalah kerja indera. Kita menemukan dunia kenyataan yang terus berubah dan saling bertentangan, jika kita mengandalkan gosip (eikasia) tentang suatu masalah dan cara pandang emosional (pistis) kita tak akan mendapatkan kebenaran utama. Namun fakta yang didapatkan dari eikasia dan pistis juga penting bagi penemuan dianoia. Jadi indera harus tetap digunakan dengan cara mawas diri, agar temuan indera ini tidak disimpulkan secara terburu-buru. Kenapa tidak boleh terburu-buru? karena kita sadar diatas pistis ada dianoia dan noesia.

Tahap Pertama : Eikasia (informasi yang kita dengar, berdasarkan cerita atau gosip)

Pada tahap ini, kumpulkan saja informasi sebanyak-banyaknya dengan bertanya pada orang sekitar atau orang lain yang kira-kira mengetahui tentang apa yang hendak kita cari tahu. Gali informasi sebanyak-banyaknya dari cerita orang lain. Jangan langsung percaya, tetapi kumpulkan dulu informasi itu sebagaim bahan. Anggap saja cerita orang lain itu sebagai asumsi yang tidak berdasarkan fakta.

Tahap Kedua : Pistis (Kumpulkan informasi dari penglihatan, apa yang kita lihat dengan mata kepala sendiri)

Apa yang kita lihat di lapangan, yang kita lihat melalui video, kumpulkan saja. Jangan langsung menganggap itu sebagai kenyataan. Bukankah di zaman sekarang ada pesulap, trickster, penipu, yang memanfaatkan penglihatan manusia. Para pesulap terlihat begitu hebat, mampu menghilangkan kartu dalam sekejap lalu memunculkannya, tapi kenyataannya itu hanya sebuah trik. Saat kita mengetahui trik sulap tersebut, kita akan langsung ilfil, oh gini toh.... Jangan langsung percaya hanya karena kita melihat sesuatu itu seperti yang kita pikirkan. Kumpulkan saja informasi melalui indera penglihatan.

Tahap Ketiga : Dianoia (Hugungkan Semua Informasi dalam Urutan ini dan kemudian itu)

Setelah terkumpul banyak inforamsi, tugas selanjutnya adalah mencerna fakta-fakta tersebut, dengan cara menghubungkannya satu sama lain. Daya dianoia yang anda miliki memiliki kemampuan untuk mengurutkannya, mana yang awal mana yang kemudian. Pengurutan fakta-fakta ini akan membawa anda pada pembandingan satu fakta dengan fakta yang lain, dan secara pasti akan menyingkirkan fakta dari pistis dan eikasia yang tidak benar. Yaitu yang tidak bersesuaian dengan fakta yang lain, tentu setelah diperbandingkan. Gagasan-gagasan awal akan bermunculan dalam bentuk dugaan, jangan-jangan ini atau itu?

Tahap Noesia: Renungkan, Hindari Dugaan, Sampai Muncul Satu Gagasan  

Kemudian bacalah ulang, renungkan ulang, dengan cara menerima semua kemungkinan. Pada saat ini akan muncul satu kesimpulan kasar mengenai apa yang sedang terjadi, atau apa gambaran umum dari semua fakta yang anda temukan. Renungkan kembali, inilah tahap inkubasi, dengan tenang tanpa prasangka dan keterburu-buruan sampai muncul satu gagasan dari diri anda. 


Contoh Pengaplikasian Metode Plato ini:

Suatu ketika anda hendak menulis paper dengan satu topik tertentu, misalnya Krisis Ekonomi Indonesia. Kesulitan membuat paper, biasanya karena anda lebih dahulu berpikir (atau menilai) sebelum tersedia banyak bahan. Maka, langkah pertama kumpulkan dulu semua bahan, apa pun (guntingan koran, catat wawancara di radio atau TV, buku-buku dan jurnal ilmiah) yang berkenaan dengan topik paper anda. Pada saat mengumpulkan itu, semua sumber dianggap sama pentingnya.

Setelah itu, baru dibaca semua sumber secara seksama. Bandingkan dan hubungkan satu sumber dengan sumber lain, niscaya anda sudah mendapatkan satu gambaran umum (agak remang-remang) tentang topik tersebut. Setelah itu, berdiam dirilah, pikirkan semuanya baik-baik; ditimbang-timbang. Jika anda tidak terlalu terburu-buru, secara otomatis akan muncul satu gagasan tentang apa yang harus anda tuliskan. 


Metode menemukan ide/kebenaran ala Plato ini juga bisa dipergunakan dalam memecahkan sebuah kasus atau mengungkap sebuah sejarah.

Demikianlah artikel kami tentang Pemikiran Plato, semoga menginspirasi.
Baca Selengkapnya → Pemikiran Plato : Logos dan Cara Menemukan Kebenaran (Dunia Ide)

Tuesday, September 20, 2016

Pemikiran Socrates: Mencapai Kebahagiaan, Menyadari Jiwa, Dialog Socrates, dan Berfilsafat dari kehidupan sehari-hari


Pada abad ke-5 Sebelum Masehi muncul aliran baru, yaitu sofis. Kelahiran mereka berkaitan dengan perkembangan kota Athena yang luar biasa makmur dan menjalankan demokrasi secara bebas. Demokrasi Athena sangat menghargai jiwa warga negara. Dalam Pengadilan, misalnya mereka memilih juri berdasarkan undian. Juri-juri ini dipilih dari warga negara biasa dan hanya menjabat dalam periode singkat.

Dalam pengadilan ini penuntut dan terdakwa tampil secara pribadi, tidak diwakili oleh pengacara. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat Athena merasa perlu untuk memiliki keterampilan berbicara. Karena tanpa kemampuan itu, mereka tidak akan bisa membela diri di depan pengadilan. 

Untuk kepentingan itu, mereka menggaji orang yang pandai untuk menuliskan naskah pidato yang bagus dan memukau atau guru yang mengajari bagaimana berbicara secara memukau. Guru -guru inilah yang disebut sebagai Sofis.

Kata Sofis berarti Arif atau pandai atau bijaksana yaitu  gelar bagi mereka yang memiliki kearifan dalam menjalani kehidupan. Namun pada zaman ini, arti sofis berkaitan dengan orang yang pandai bicara, mempengaruhi orang dengan kemampuan berdebat. Aliran ini banyak dianggap sebagai aliran yang negatif, karena merelatifkan segala kebenaran.

Contohnya adalah Protagoras, salah satu tokoh terkemuka aliran ini, menyatakan bahwa:

Manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian pula.

Maksudnya adalah bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia masing-masing. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil pandanganku sendiri. Apa pandanganku ini benar bagi orang lain, sulit dipastikan, boleh jadi tidak. Apa yang dikatakan baik boleh jadi jahat bagi orang lain. Alamku adalah bagiku sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.

CARA MENCAPAI KEBAHAGIAAN MENURUT SOCRATES

Di tengah anggapan bahwa semua kebenaran relatif, cara pengungkapan yang memukau menjadi penting. Maksudnya, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi ( bukankah isinya sudah dianggap relatif), kebenaran tergantung pada bagaimana cara menyampaikannya, yang baik bisa tampak jahat ketika salah menyampaikannya dan sebaliknya.

Tokoh kedua dari kaum Sofis adalah Georgias. Ia hidup pada rentang tahun 483-375 di Leontinoi, Sisilia. Pada Tahun 427 ia datang ke Athena sebagai ahli pidato dan menjadi guru berpidato. Georgias menyatakan bahwa tidak ada satupun yang benar :

Tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tak dapat diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan.

Georgias menyatakan bahwa segala pemikiran atau pendirian adalah salah, dia menihilkan segala kebenaran. Berkebalikan dengan pernyataan Protagoras yang menyatakan bahwa segala pemikiran dan pendirian bisa jadi benar. Dan kenyataannya  pada waktu itu Retorika (Keterampilan mengolah kata-kata) adalah menjadi cara paling ampuh untuk meyakinkan orang.

Ditengah-tengah kuatnya pengaruh kaum Sofis, muncullah seorang Filsuf lain yang mencoba memberikan alternatif baru. Ia adalah Socrates. Lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Socrates setuju bahwa pada manusialah terletak pengatahuan. Namun ia tidak setuju dengan kebenaran relatif (Protagoras) dan Nihilitas kebenaran (Georgias).

Pertentangan dari Socrates ini ada benarnya. Bayangkan jika kita mempercayai bahwa tidak ada kebenaran yang bisa dipercayai, maka tindakan dan pikiran kita tidak akan terpacu untuk mencari kebenaran. Ini berarti kita berhenti untuk mencari tahu sesuatu karena percuma saja mencari kebenaran, orang semuanya sudah salah. Dalam hal ini Socrates memandang bahwa masyarakat Athena sudah terjebak dalam skeptisisme Protagoras dan Nihilitas Georgias yang pada akhirnya mengarahkan masyarakat Athena untuk condong ke arah duniawi (kekayaan, kemewahan, kesombongan, menang perdebatan, dll).

"Saya curahkan waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga dan harta kalian, melainkan demi kesejahteraan jiwa kalian. Kekayaan tidak akan membawa kebaikan, tetapi kebaikan akan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara."

Socrates mempercayai adanya satu kebaikan yang bisa dimiliki oleh semua orang, kebaikan itu ada dan tidak bisa diragukan lagi. Socrates mempercayai bahwa manusia bukan hanya badan, manusia memiliki jiwa. Jiwa adalah inti dari manusia, karena jiwa sebagai inti maka manusia wajib mengutamakan jiwanya (eudaimonia = memiliki jiwa yang baik). 

Hidup tanpa memperdulikan kondisi jiwanya sama saja dengan sekedar menempat, hanya hidup saja, dan tidak berarti apa-apa . Orang harus hidup yang baik, yaitu memiliki jiwa yang bahagia.

Lalu bagaimana orang bisa mencapai kebahagiaan? Socrates menyatakan bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan pengetahuan. 

Kebahagiaan adalah pengetahuan, demikian ujar Socrates.

Kebahagiaan seorang tukang sepatu adalah kebahagiaan/keutamaan yang menjadikan seorang tukang sepatu itu menjadi tukang sepatu yang baik, yaitu ketika ia memiliki pengetahuan akan pekerjaannya dan memiliki keahlian dalam bidangnya itu.

Kebahagiaan mahasiswa, guru, politikus, pedagang, ustad, petani, nelayan, sopir dan tukang bangunan tentu saja berbeda-beda tergantung dari kehidupan yang digelutinya setiap hari. Namun semua itu tergantung pada  2 hal :
  1. Pengetahuan tentang kehidupan yang digeluti.
  2. Praktek dalam kehidupan sesuai dengan pengetahuannya itu.
Kebahagiaan adalah pengetahuan, berarti segala kesedihan berasal dari ketidak tahuan. Tiadanya pengetahuan kita adalah menjadi sumber kesedihan kita. Tidak mungkin satu orang pun di dunia ini yang memilih ketidakbahagiaan atau kesalahan, jadi seluruh kesalahan dan ketidakbahagiaan kita berasal dari ketidak tahuan kita akan sesuatu hal tersebut.

Kebahagiaan tergantung pada pekerjaan? Ini terlihat agak relatif. Kalau begitu Socrates sama dengan guru-guru sofis? Mari kita amati lagi pemikiran Socrates. Bagi Socrates kebahagiaan terkait dengan kehidupan yang dihadapi seseorang. Setiap orang tentu memiliki pekerjaannya masing-masing, setiap orang menghadapi benda-benda yang khas sesuai dengan apa yang sedang dikejakannya itu. 

Kebahagiaan akan tercapai ketika ia sukses mengerjakan apa yang sedang digelutinya. Seorang tukang sepatu akan tersenyum puas jika ia dapat membuat sepatu yang baik, kuat dan indah ; sebaliknya ia akan kecewa ketika sepatunya cepat rusak dan tidak indah. Kepuasan itulah yang dimaksud Socrates dengan kebahagiaan atau kebaikan. Jadi, kebahagiaan seseorang adalah jika ia menyelesaikan dunia kehidupannya dengan baik.

Tapi bagaimana caranya agar orang bisa mengerjakan sesuatu dengan baik? Pengetahuan itulah jawabannya. Tanpa pengetahuan tentang hal ihwal sepatu, seorang tukang sepatu tidak akan bisa menghasilnya sepatu yang baik dan indah. Nah, bagi Socrates pengetahuan menjadi inti dari kebahagiaan. 

Jadi yang baik itu hanya ketika seseorang memiliki pengetahuan. Pengetahuan menjadi syarat umum yang harus dimiliki semua orang agar ia bisa sampai pada situasi bahagia. Pendapat Socrates yang menyatakan ada satu hal umum yang dimiliki oleh semua orang ini menunjukkan bahwa dirinya tidak sama dengan guru-guru sofis lainnya.

Kebahagiaan dikaitkan Socrates dengan "jiwa yang baik" atau eudaimonia . Apakah jiwa menurut Socrates? Apakah ia atom lembut yang bundar seperti pemikiran Democritos, atau udara seperti Anaxagoras? 

Jiwa manusia menurut Socrates adalah bagian dari Tuhan, jiwa berada dalam diri semua manusia dan membimbing arah kehidupan manusia ke arah kebaikan. Semua manusia memiliki jiwa karena itu semua manusia pada dasarnya baik. Namun Orientasi yang hanya terarah pada badan dan harta membuat manusia melupakan jiwanya, suatu kealpaan yang membuat manusia menderita.

BAGAIMANA CARA MENYADARI JIWA?


Dialog merupakan cara yang ditempuh Socrates. Ia berjalan-jalan ke seluruh pelosok kota, ke tengah pasar dan segala tempat keramaian untuk mengobrol dengan banyak orang. Socrates mengajak semua orang untuk membicarakan kehidupannya, mengkritisi apa yang selama ini dianggap baik dan benar sampai pada akhirnya menemukan kesadaran bahwa ada kontradiksi dalam keyakinannya, suatu hasil yang mengarahkan orang itu untuk menemukan apa yang baik tanpa kontradiksi. Pada saat itulah kita menyadari akan jiwa.

DIALOG SOCRATES

Dalam dialog Socrates tidak mengajarkan apapun, ia menolong mengeluarkan apa yang tersimpan dalam jiwa orang yang selama ini terkubur oleh pengetahuan yang salah. Salah satu pengetahuan yang salah itu adalah bahwa seseorang telah tahu banyak semua urusan hidup, merasa ahli.

Seorang ahli biasanya merasa bahwa seluruh kehidupan bisa dipahami melalui konsep-konsep yang telah dimilikinya. Jadi tak ada lagi yang tidak bisa dipahami. Sikap ahli ini membuat orang menganggap remeh pada gejala-gejala kehidupan yang dialami sehari-hari, yang kemudian akan membuatnya gagal dalam menjalani kehidupan.

Dalam konteks ini pernyataan Socrates, " Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa" menjadi penting. Karena bagi Socrates kesadaran akan kebebalan mengarahkan manusia untuk bisa terbuka pada segala kemungkinan terbaik bagi jalan hidup seseorang.

Lewat dialog, Socrates berlaku seperti seorang bidan. Tugasnya membantu orang lain bahwa dirinya memiliki bayi "jiwa yang baik" untuk kemudian dilahirkan melalui penyadaran akan ketidaktahuannya. Sebagai seorang bidan Socrates mengajak kawan dialognya untuk menemukan pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala yang berubah, yang tak pasti. Biasanya ia memulai perbincangan dengan pertanyaan "Apa itu? Apa itu indah? Apa itu bahagia? Apa itu berani ? Batu setelah itu ia meneruskan pertanyaan "Apa yang menjadi sebab semua itu?"

Metode dialog socrates bermula dari "induksi untuk menemukan defenisi". Defenisi ini membentuk suatu pengertia yang berlaku umum. Pertanyaan "Apa itu?" merupakan pertanyaan awal dalam metode induksi Socrates. Induksi Socrates  bukan seperti  metode induksi yang kita pahami sekarang ini.Saat ini induksi berarti cara berpikir dari yang khusus menuju yang umum. Induksi bagi Socrates adalah memperbandingkan secara kritis. Gambaran metode ini dengan baik dikemukakan oleh Muhammad Hatta:

"Ia tidak berusaha mencapai kesimpulan dari penjulah hal-hal yang partikular. Ia mencoba mencapai kesimpulan dengan contoh dan perbandingan, lalu diuji dengan meminta pendapat pada lawan dialognya. Dari lawan bicaranya, yang ahli dalam satu hal, ia meminta definisi mengenai apa yang sedang dibicarakan menurut keahliannya. Misalnya tentang berani, indah dan lainnya. Pengertian yang diperoleh ini kemudian diuji silang pada beberapa keadaan dalam kehidupan yata. Jika dalam pengujian ini pengertian yang ditemukan tidak bisa diterapkan, maka pengertian itu diperbaiki definisinya. Definisi baru itu kemudian iduji dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang lebih sempurnya. Demiian seterusnya." 

 Socrates dianggap sebagai filsuf sejati. Ia rela dihukum mati ketimbang berhenti berfilsafat, inilah alasan utamanya. Dalam The Gay Science Nietsche menulias pujian untuk Socrates,

"Saya memuji keberanian dan kebijaksanaan Socrates dalam semua hal yang ia lakukan, yang ia katakan - dan yang tidak ia katakan. Socrates adalah yang berhati jenius. Yang suaranya mampu menyentuh kedalaman jiwa setiap orang. Yang mengajar orang untuk mendengarkan, yang menghaluskan jiwa-jiwa yang kasar, dan membiarkan kekayaan yang terlupakan dan tersembunyi, tetesan kebaikan, yang karena sentuhannya setiap orang diperkaya, bukan karena menemukan rahmat ataupun kekaguman, bukan karena diberkati dan ditekan oleh kebaikan orang lain, tetapi karena menjadi lebih kaya dalam dirinya sendiri, terbukan-barangkali kurang yakin- tetapi penuh dengan harapan yang sampai sekrang belum memiliki nama."

Socrates disebut filsuf sejati karena ia tidak menjadikan filsafat sebagai teori-teori yang ruwet dan membosankan. Ia adalah filsuf seperti yang digambarkan Walter Kauffman. Seorang filsuf, begini ungkap Kauffman, adalah orang yang memerangi ketakutan kita " untuk memahami sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan dan kepercayaan umu" dan menocba membuat kita "lebih sensitif terhadap cara pandang yang lain, dan menunjukkan bagaimana pandangan yang dicerca dan dimengerti secara keliru oleh banyak orang terasa  dan terlihat dari dalam.

Pada diri Socrates kita dapat belajar mengenai satuhal : bahwa berfilsafat pada awalnya harus bermula dari diri sendiri. "Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani," begitu ujar Socrates. Ia mengajak kita untuk tidak sekedar menempat, seperti botol di kotak minuman. Manusia bukan botol, ia memiliki jiwa yang menyimpan peta menuju kebahagiaan. Namun kita seingkali seperti botol itu, terjebak dalam kebiasaan-kebiaasan yang tak pernah disadari mengapa seperti itu.

Misalnya, kita setiap hari sering diperbudak oleh rasa iri, marah, cemburu, takut, malu atau sedih. Karena semua orang juga mengalami hal yang sama, kita jadi tak perduli pada situasi itu. Akhirnya kita terus-menerus berada dalam lingkungan kemarahan yang sama, dan kita tak pernah bisa berbahagia. Maka bertanyalah, ingatlah bahwa " kebahagiaan/kebaikan adalah pengetahuan" ; melalui pertanyaan kita bisa mendapatkan pengetahuan yang akaan mengarahkan kita pada hidup baik. Kauffman, dengan merujuk pada metode Socrates, menuliskan contoh cara mempertanyakan hidup:

"Sebagai awal, orang dapat bertanya pada dirinya sendiri " Apakah saya bebas dari kemarahan? Dan jika tidak, tanyakanlah : terhadap apa saya marah? persisnya seperti apa? Dan seberapa rasional hal itu, sehingga saya membenci ini dan bukan itu? Pada tahap ini jangan pikirkan apakah anda merasa dapat melepaskannya. Tanyakan saja pada diri anda, apakah anda ingin menjadi lebih baik? Pikirkanlah alternatif-alternatif yang ada dengan menggunakan imajinasi anda. Anda tidak memerlukan seseorang psikoanalis untuk melakukannya, anda dapat melakukannya kendatipun sama sekali tidak mudah. Dan yang lebih berat, tentu saja, adalah terus melepaskan kemarahan, teteapi hal itu juga dapat dilakukan sekalipun membutuhkan waktu banyak"

 

 BERFILSAFAT DARI KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Dalam dialog Socrates, setiap jawaban memunculkan pertanyaan, sedang dalam dialog resmi ilmiah setiap pertanyaan menghasilkan jawaban.
Dari Socrates kita menemukan suatu cara berfilasafat yang bisa dengan mudah kita lakukan. Socrates menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai dasar dan tujuan kegiatan berfilsafat. Tidak ada istilah yang ruwet dalam kegiatan berilsafat ala Socrates. Semua orang bisa melakukannya. 

Alasan yang pertama, semua orang memiliki dunia kehidupannya. Dunia kehidupan ii belum tentu telah dijalani dengan baik sehingga menghasilkan kebahagiaan yang tulus. Bisa saja dunia kehidupan itu dilakukan dengan terpaksa atau menuruti kebiasaan orang kebanyakan. Dengan merunut pada kebiasaan awam semisal itu, bisa dipastikan tidak dapat menghasilkan kebahagiaan. Inti dialog adalah melahirkan kesadaran hidup baik dari diri sendiri dan kawan bicara. Bagaimana orang harus hidup merupakan urusan semua orang, karena itu dialog dengan tujuan hidup baik adalah penting bagi siapapun.

Alasan kedua, semua orang memiliki kegelisahan akan kehidupan yang terus-menerus dibayangi kegelisahan atau ketidakpuasan. Namun ketidakpuasan ini jarang terungkap, seringkali kita menganggapnya sebagai gelaja kejiwaan yang biasa-biasa saja. Jadi tak pernah dipersoalkan. Lama kelamaan ketidakpuasan itu terus menumpuk dan menghasilkan kesadaran palsu, kita jadi teramat pemarah tanpa alasan yang jelas atau menjadi sangat pemalas. Kita jadi pemarah karena ketidakpuasan yang telah menumpuk itu tidak tak menemukan cara pembebasannya, ia terkurung dan ingin diekspresikan. Namun sekian lama tidak dibahsakan membuat kesadaran itu menjadi sulit dipahami. Pada saat itu yang muncul adalah emosi-emosi yang tak juntrung sebabnya. Demikian pun dengan rasa malas, biasanya rasa malas bermula dari keputusasaan : karena hidup selalu tidak memuaskan maka tak perlu lagi ada usaha. Dialog mode Socrates merupakan pembebasan.

Alasan ketiga, semua orang memiliki pertanyaan terhadap dunia kehidupannya. Juga memiliki sejumlah gagasan dan impian mengenai bagaimana cara hidup yang bahagia. Metode Socrates membutuhkan kejujuran terhadap apa yang dialami, dipikirkan dan dilakukan untuk dikemukakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan rumusan-rumusan sederhana. Metode Socrates tidak membutuhkan  pertanyaan yang ruwet atau jawaban yang ilmiah. Pertanyaan/jawaban yang baik adalah pertanyaan/jawaban yang berdasar teori merupakan kebiasaan kaum Sofis ini ditentang oleh Socrates.

Alasan Keempat, saat ini kita sebenarnya hidup ditengan kerumunan masyarakat Sofis. Ada banyak barang yang kita gunakan bukan berdasar kebutuhan kita terhadap barang tesebut, namun karena kemasan iklan yang merayu secara cerdik. Misalnya, karena di kepala kita sudah tertanam bahwa " hanya yang ilmiah sajalah yang benar, hanya yang telah diuji di laboratorium sajalah yang benar" maka kita tertarik untuk membeli detergen tertentu setelah melihat iklan yang sedemikian ilmiah. Ingat ungkapan Kaum Sofis, "kebenaran atau kesalahan tergantung pada pengolahan kata-kata". Seluruh iklan itu pada dasarnya cara pengolahan barang agar terkesan lebih berkualitas ketimbang barang yang sejenis, walaupun belum tentu demikian.

Belum lagi kita juga berhadapan dengan kaum Sofis dari agamawan dan politikus. Mereka sedemikian cerdas mengolah kata, meyakinkan diri kita tentang apa yang patut segera dilakukan. Semuanya dikemas dengan kalimat ," semuanya untuk kebahagiaan bersama", walaupun pada kenyataannya kemudian semuanya untuk kepentingan tokoh-tokoh itu.

DIALOG SOCRATES BERKELOMPOK

Berikut tips panduan dialog Socrates secara berkelompok:
  1. Buatlah kelompok dialog, yang secara sederhana sukarela mau mengobrolkan persoalan-persoalan keseharian dan keyakinan secara terbuka.
  2. Buatlah dengan tema-tema sederhana, misalnya tentang rumah, pacaran, kerja, tetangga, belajar, dll.
  3. Buatlah dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: apa maksudnya? Siapa yang setuju dan siapa yang menentang hal itu? Adakah cara-cara lain untuk meikirkannya, yang lebih masuk akal danlebih dapat untuk terus dipertanggungjawabkan? Seluruh pertanyaan diupayakan untuk terus-menerus menggali konsekuensi-konsekuensi gagasan tertentu dan kemudian menawarkan alternatif dan keberatan yang menantang.
  4. Seluruh sanggahan, rumusan, pertanyaan, dan komentar peserta dialog sangat berharga. Jadi tak ada satupun yang dianggap remeh, semuanya berharga bagi perbaikan kesadaran masing-masing peserta dialog.
  5. Jika dialog tersebut tidak menyentuh kesadaran kita, tidak menyusahkan, secara mendan spiritual tidak menantang dan membingungkan, dengan cara yang indah dan menggairahkan, dialog tersebut bukan dialog Socrates.
 Sebagai contoh dialog Socrates secara berkelompok dikutipkan dari buku Socrates Cafe :

"Anda tinggal dimana?"
"Saya tinggal di Roma selama bertahun-tahun.Saya seorang dokter anak di sana. Tetapi saya tidak menganggap tempat itu sebagai rumah saya"
"Apakah anda berasal dari Jerman?"
"Dalam arti tertentu, ya. Saya dilahirkan di sana. Tetapi saya rasa dalam kenyataannya saya tidak pernah benar-benar memiliki rumah. Saya tidak yakin apakah yang disebut rumah itu memang ada."
"Rumah tidak ada?"

Saya tidak mendesak agar ia menjelaskan pernyataannya saat itu juga karena sudah saatnya Cafe Socrates dimulai. Ruang tempat kami berkumpul bersifat informal, hampir seperti di rumah sendiri. Ruang itu bermeja antik berbentuk bundar,dengan taplak kain berwarna putih cerah dan kursi-kursi berbantal nyaman.

"Apa itu rumah?" Saya bertanya kepada sekitar tiga puluh peserta atau lebih yang ada di ruangan itu, sambil bertukar pandang dengan wanita yang berbicara dengan saya tadi. Pada saat yang bersamaan ia tersenyum dan mengerutkan dahi padaku.

Wanita yang duduk persis di sebelahnya, sebut saja "Mildred" berkata,"Saya akan mengatakan pada anda apa yang bukan rumah itu?". Sambil akan mengatakan pada anda apa yang bukan rumah itu?". Sambil menepukkan tangannya pada kursi tempat ia duduk, ia lalu mengatakan dengan penuh perasaan,"Tempat ini bukan rumah saya, satu-satunya alasan saya mengapa saya di sini adalah bahwa anak-anak saya membuang saya ke sini.Saya ingin berada di tempat lain di mana pun kecuali di sini. "Kemudian ia sedikit mengenang masa lalunya di New York. Dengan kebanggaan yang sangat kentara itu, ia mengatakan bahwa ia pindah ke sana enam dekade yang lalu untuk menadi seorang pekerja sosial. Hal itu bertentangan dengan harapan keluarganya, "Saya meninggalkan rumah yang besar dan nyaman di Midwest atas pilihan saya sendiri dan membangun rumah baru untuk diri saya sendiri dan membangun rumah baru untuk diri saya sendiri di Bronx. "Ia hampir kelihatan bersinar penunh kebanggaan ketika mengatakan hal itu. Lalu ekspresinya tampak meredup kembali. Ia memandang semua orang di dalam ruangan itu,"Tetapi saya tidak berada di sini karena pilihan saya sendiri. Maka, ini bukan rumah saya sendiri. Rumah adalah tempat yang anda pilih untuk hidup."

Alex  :"Sangat sedikit di antara kita yang memiliki kemewahan untuk memilih di mana kita hidup. Saya hidup di tempat di mana saya dapat menemukan pekerjaan dan menyediakan rumah yang nyaman bagi istri dan anak-anak saya."

Anne : "Rumah adalah tempat di mana anda tidur. Tempat ini adalah tempat di mana saya tidur. Tempat ini adalah rumah saya."

Lalu Mildred berteriak,"Berapa orang di antara anda yang merasa bahwa tempat ini adalah rumah anda?"

Hanya tiga orang yang mengacungkan tangannya, dan mereka melakukannya dengan ragu-ragu. "Saya harus mengakui bahwa saya terkejut karena sedikit sekali di antara anda yang menganggap tempat ini sebagai rumah anda," kata Anne.

"Tempat ini adalah salah satu rumah saya," ujar Susan (wanita berambut abu-abu cerah terurai sebatas punggung),"saya juga masih punya rumah di Florida."

"Tidak sih, tetapi saya tidak pernah merencanakan menjualnya. Selama saya memiliki rumah itu, saya merasa bahwa saya masih memiliki rumah di sana", Susan berhenti sejenak. "Bagaimana dengan ungkapan buatlah diri anda kerasan seperti di rumah sendiri? Hal itu membuat saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, dimanakah saya dapat kerasan seperti di rumah sendiri? Sekalipun saya telah tinggal di sini selama beberapa tahun, tempat ini masih saja terasa sebagai bangunan tempat tinggal semata. Di sini saya masih merasa seperti ketika dulu saya tinggal di sana, rumah tersebut masih semata-mata merupakan bangunan tempat itnggal. Diperlukan waktu beberapa lama untuk menjadikan bangunan itu sebuah rumah , tidak hanya bangunan tempat saya belajar masak, di mana saya menjalin persahabatan yang langgeng dengan beberapa teman, di mana saya jatuh cinta". Ia berhenti sejenak, menghela nafas,"Saya pikir, pada akhirnya saya kan memandang tempat itu sebagai rumah, tetapi saya belum akan memandangnya demikian. Tempat itu masih merupakan sekedar bangunan tempat tinggal."

"Bagaimana sebuah bangunan rumah dapat benar-benar menjadi benar-benar rumah?" tanya saya, memancing.

Robert, seorang peserta yang sinis, berkata," Sya kira perama-tama anda harus tinggal di sana. Bahkan jika ada tempat lain yang mungkin lebih anda suaki, jika anda sudah memilih anda sudah harus menyatakan itulah tempat anda, itulah rumah anda. Saya tidak merasa begitu dengan tempat ini, dan saya tidak tahu apakah saya akan pernah merasa begitu."

"Saya pikir saya tidak pernah menganggap tempat-tempat yang secara fisik saya tinggali semenjak saya dewasa sebagai rumah", kata saya. "Saya kita saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan terhadap bangunan tempat tinggal. Dulu saya berpikir bahwa hal itu disebabkan oleh seringnya saya berpindah-pindah tempat, tetapi kemudia saya berpikir bahwa sebagai anak kecil, saya juga sering berpindah-pindah,namun cepat sekali saya menganggap tempat mana pun sebagai rumah, bukan semata- mata bangunan tempat tinggal."

Setelah berhenti sebentar untuk mengumpulkan gagasan lain say berkata,"Kadangkala saya berpikir bahwa satu-satunya kesempatan di mana sya merasa kerasan adalah ketika saya sedang dalam perjalanan. Sebagai wartawan, selama bertahun-tahun, saya berkerja hadiskan sebagian besar malam saya di penginapan. Hingga hari ini setelah saya pulang ke rumah selama lebih dari satu minggu, saya mulai merasa gelisah. Saya mengambil atlas lalu melihat semua tempat yang pernah saya kunjungi dan semua tempat yang ingin saya datangi."

Seorang wanita yang agak pemalu, Audrey namanya, setelah sejal awal ragu-ragu mengemuikakan gagasan akhirnya angkat bicara, "Saya menjalani hidup masa dewasa saya dalam sebuah apartemen yang indayh di Manhattan. Selama tinggal di sana, saya tidak pernah merasakan tempati tiu sebuah rumah saya," ia diam dalam beberapa saat," Saya bertanya-tanya hal tiu disebabkan akrena tempat itu hanya merupakan apartemen, bukan rumah yang sesungguhnya. Tetapi saya juga tidak berpikir bahwa tempat ini adalah rumah saya.Seandainya saya tahu alasannya."

"Apakah rumah yang sesungguhnya itu?", tanya saya.

"Rumah yang sesungguhnya adalah tempat di mana anda mengetuk dan mereka mempersilahkan anda masuk, kata Mildred. Sambil melihat Audrey ia meneruskan, "Saya yakin bahwa anda tidak menganggap bahwa tempat tinggal sebagai rumah karena tempat itu bukanlah tempat yang anda pilih, tetapi yang dipilihkan bagi anda. Sekalipun mereka mempersilahkan anda masuk, anda tidak pernah mengetuknya."

"Saya kita anda memang benar," terdengar jawaban lembut dari wanita tua yang sedari tadi diam di sudut ruangan.

"Rumah yang sesungguhnya adalah tempat anda lahir dan dibesarkan. Rumah masa kecil saya yang dekar di sini, yang masih ditinggali orang tua saya, tidak lagi terasa sebagai rumah saya," kata saya kepada wanita tua suara lembut. "Kamar tidur saya perlahan tapi pasti menjadi kamar ekstra bagi ibu saya. Bahkan sebenarnya saya dusah tidak mempunyai kuncinya lagi."

"Anda sudah tidak bisa pulang lagi ke rumah," sahut Jhon."Atau barangkali anda bisa pulang, tetapi rumah anda tidak bisa seperti yang dulu lagi, dan anda tiodak sama seperti yang dulu. Anda dapat kembali, tetapi apakah tempat itu masih merupakan rumah? Atau apakah tempat tersebut merupakan rumah baru? Apakah tempat itu menjadi rumah bagi orang asing?"

Cara dia mempertanyakan kembali pandangan saya tentang rumah, mengingatkan saya pada George Webber, tokoh protagonis dalam novel You can't go home, yang mengatakan bahwa," Hakikat kepercayaan adalah keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyakan. "Bagi Webber rumah adalah tempat anda berasal, dan tempat anda tinggal untuk menemukan dunia di luar sana dan dalam proses tersebut anda memecahkan cangkang telur keberadaanmu. Beberapa tahun kemudian, Webber kembali ke kampung halamannya. Bagian akhir yang mengesankan dari buku itu ketika penduduknya marah terhadap isi bukunya yang memberi komentar menyakitkan tentang kampunghalamnnya. Bagian akhir yang mengesankan dari buku tersebut konon berasal dari suara yang di dengar Webber di malam hari, yaitu ," Kehilangan dunia yang engkau kenal, demi pengenalan yang lebih benar, melepaskan hidup yang engkau miliki, demi kehidupan yang lebih besar ; meninggalkan teman-teman yang engkau cintai, untuk cinta yang lebih besar; untuk menemukan tempat yang lebih baik daripada rumah, lebih luas dair bumi." Di tempat-tempat persinggahannya yang jauh, Thomas Wlfe sendiri tampaknya menemukan " tempat yang lebih baik daripada rumah". Tetapi jelas bahwa ia tidak menganggap tempat itu sebagai rumah. Da, sekalipun ia tidak menganggap bahwa dirinya tidak dapat pulang kembali, ia masih menganggap bahwa rumah masa mudahnya dalah rumahnya. Itu merupakan bagian dari dasar keberadaannya. Dalam pengertian fisik dan eksistensial. Wolfe merasakan keberakaran dan keterkaitannya di sana, sehingga perbedaan waktu dan tempat sejauh apa pun tidak akan mampu menghapusnya, dan bahwa tidak ada tempat lain di planet ini, betapapun baiknya, yang dapat menggantikannya.

Setelah merenung sejenak, wanita dokter anak yang memberi inspirasi awal pembicaran ini, berkata,"Rumah adalah tempat di mana temanmu berada. Saudara laki-laki saya ada di sini. Dan, dalam waktu dua bulan saya sudah berteman dengan empat orang. Dan itu cukup." Ia berhenti sejenak dan kemudia berbicara sedikit ragu,"Jadi, tempat ini berangsur-angsur menjadi rumah, yang semacam itulah."

"Rumah adalah tempat di mana hatimu berada," ujar Mildrerd.

"Apa itu artinya?" saya ingin tahu.

"Itulah tempat di mana anda mempunyai kenangan yang menyenangkan," jawabnya." Itulah tempat di mana saya belajar naik sepeda dan menyetir mobil, tempat di mana saya mendapatkan ciuman pertama, tempat saya datang untuk berkumpul kembali dengan keluarga, tempat yang menjadi tujuan hampir semua telepon jarak jauh saya. Rumah adalah tempat khusus yang saya cintai lebih daripada yang lain."

"Saya berasal dari keluarga yang retak," Bill yang semula diam, tiba-tiba angkat bicara. " Saya tidak memiliki kenangan yang manis sedikitpun  di sana, tetapi tempat tempat itu masih merupakan rumah bagi saya. Saya kita  lebih baik mengatakan bahwa rumah merupakan tempat di mana anda memiliki kenangan, entah emnyenagnkan atau tidak. "Ia berhenti dan kemudian," Tetepi saya bertanya apakah itu benar. Maksud saya, kita mempunyai banyak kenangan selain rumah."

" Saya kira kenangan itu sendiri adalah sejenis rumah," ujar lelaki yang berdiri di pinggir Diana." Vladimir Nabokov menulis, kenangan adalah satu-satunya real estate. Mungkin yang ia maksudkan adalah bahwa anda dapat dilepaskan dari segala sesuatu yang anda miliki, tetapi tidak seorang pun dapat mengambil kenangan atau ingatan anda."

"Kakak perempuan saya menderita Alzhemeir, maka dia kehilangan ingatan dan identitasnya," kata Jean. Semua orang terdiam. Jean akhirnya meneruskan,"Saya sungguh berpikir bahwa kita sudah tersesat terlalu jauh ketika kita mulai bicara tentang tempat-tempat yangbukan bangunan fisik sebagai rumah. Misalnya, saudara perempuan saya tinggal di sebuah rumah perawatan. Bahkan lebih sering ia tidak tahu di mana sesungguhnya ia berada, tetapi tempat itu tetap rumahnya."

"Jika demikian, lalu apkah semua tempat di mana kita masing-masing pernah tinggal dalam hidup kita dapat disebut sebagai rumah?" tanya saya.

"Tidak", tukas si dokter anak,"Saya dilahirkan dan dibesarkan di Jerman. Dulu itu kampung halaman saya, tetapi sama sekali bukan rumah saya". Ia terus menceritakan bagaimana ia dan keluarganya harus melarikan diri dari Jerman karena ada ancaman penganiayaan terhadap Yahudi.Dari san ia pergi ke Italia," Jerman tak pernah menjadi rumah bagi saya."

"Tetapi anda berasal dari Jerman," seorang wanita berkata padanya.

"Itu bukan rumah saya."

"Baiklah, sekalipun tampaknya kita semua mempunyai gagasan yang paling tidak agak berbeda mengenai apa itu rumah dan di mana rumah kita," kata saya,"Adakah semacam benang merah yang menghubungkan gagasan kita masing-masing tentang rumah?"

Wanita yang duduk di pinggir saya, berbicara hampir tanpa jeda, "Tampaknya rumah adalah tempat, tempat yang spesial, di mana kita masing-masing dalam arti tertentu tinggal. Bagi banyak orang di antara kita, tempat ini baik dan nyaman, bagi yang lain rumah itu bisa menakutkan dan tidak nyaman. Tetapi dalam semua contoh tersebut, tempat tersebut tetap merupakan rumah."

"Saya pikir anda benar" kata pria kurus dengan suara yang lirih (selama ini ia diam saja). Kemudian ia berkata ,"Setiap kali ada perang di dekat rumah kami, akami kan pindah. Selama masa kecil saya, untuk menghindari Revolusi Bolshevik, kami pindah dari Rusia ke Kanada. Akhirnya kami pindah ke Hawaii, lalu ke daratan Amerika Serikat ketika Perang Dunia Ke-2. Saya tahu bahwa sebagian orang di sini tidak cocok dengan pandangan ini, tetapi rumah bagi saya bukanlah bangunan tempat tinggal. Rumah adalah keluarga saya. Rumah saya adalah orang-orang yang paling saya cintai".

"Sayalah satu-satunya keluarga yang pernah saya miliki," seseorang tua, bungkuk dan bertongkat butut. "Saya dibesarkan di sebuah panti asuhan, suatu tempat yang sama sekali tidak menyenangkan bagi saya. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai rumah. Setelah saya meninggalkan panti asuhan, saya sendirian dan mengandalkan disaya sendiri, sampai saat ini, ketiak saya tak punya pilihan lain kecuali harus menerima bantuan para staf di sini. Tetapi seperti yang dikatakan staf tadi pada awal percakapan iin, tempat ini bukan rumah saya." Kemudian ia menepuk dadanya dan berkata ,"Sayalah rumah bagi saya."

Beberapa lama kami terdiam.Akhirnya pria kurus yang berbicara sebelum Pak Tua ini megnatakan ," karena diskusi ini dinamakan Cafe Socrates, saya berpikir tentang Socrates. Dan, sayapikir bagi Socrates, rumah adalah seluruh Athena. Dan itu merupakan salah satu alasan kenapa ketika pengadilan yang memberi Socrates pilihan untuk menginggalkan Athena daripada dihukum mati, ia tetap emnolaknya. Karena pergi dari Athena akan membuatnya merasa tidak punya rumah. Ia lebih suka mati daripada tidak punya rumah".

Ia memandang dokter anak. "Jerman hanyalah tempat asalmu. Seperti yang anda katakan tadi, rumah adalah tempat di mana orang yang anda cintai berada." Hal ini mendorong saya untuk mengatakan ," Ketika saya pergi bersama ibu ke sebuah kamp tambang batu bara di Virginia, tempat beliau dilahirkan, saya berkata kepadanya," Jadi ini adalah rumah ibu". Beliau menjawab, "ini adalah tempat asal ibu, tetapi kamu adalah rumah ibu."

"Apakah ibu anda selalu membuat anda merasa nyaman untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan?" dokter anak itu kembali berbicara. "Ya, benar" kata saya kepadanya. Ia meminta saya untuk bercerita lebih banyak lagi tentang ibu.

"Kamp tambang batu bara tempat dia dilahirkan dan dibesarkan tersebut masih ada di sana, masih utuh, sekalipun tempat itu sudah menjadi kota hantu tak berpenghuni. Sejak pertama kali saya pergi ke sana. Saya mencoba membayangkan bagaimana ibu saya, dalam lingkungan yang sangat menekan ini, dapat membayangkan bahwa ada dunia lain, atau kemungkinan-kemungkinan lain bagi dirinya.

Entah bagaimana dengan sedikit dorongan dari orang lain, ibu saya mengembangkan kecintaan pada tulisan. Ia akan menyelinap ke sebuah perpustakaan kecil yang dibangun oleh pemilik pertambangan, setiap kali ada kesempatan dari membaca buku apa saja yang dapat dia peroleh di sana. Dengan emmbaca, dia mulai menemukan dunia yang ada di seberang gunung-gunung itu, dan dia mulai menemukan alam semesta dalam pikirannya. Saya pikir saya belum pernah bertemu dengan seorang pemikir kritis yang lebih berbakat daripada ibu saya.

Bahkan ketika saya masih kanak-kanak, daripada memberitahu saya satu jawaban, ibu mendorong saya untuk mengembangkan sistem kepercayaan sendiri, untuk menemukan jalan saya sendiri, kebenaran saya sendiri, dengan pikiran saya sendiri. Saya adalah tukang bertanya yang terus menerus menghujaninya dengan pertanyaan demi pertanyaan. Tetapi ia tidak pernah menjawab, "karena memang sudah begitu adanya". Dia tidak pernah sedikitpun jengkel oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya. Bahkan, tampaknya dia sangat menikmati setiap pertanyaan yang saya ajukan.Apakah saya bertanya,"Mengapa langit berwarna biru? Atau "Mengapa ada langit ? Atau "Mengapa ada pertanyaan? Jawaban pertama yang biasa di aberikan adalah "Mengapa kamu berpikir bahwa langit itu berwana biru, bahwa ada langit, dan bahwa ada pertanyaan-pertanyaan?" Dan dari awal yang demikian itu, kami akan berdialog. Ia menantang dan mendorong saya untuk menemukan jawaban-jawaban saya sendiri."


Kesimpulan dari Dialog di Cafe Socrates di atas adalah:

  1. Berfilsafat bukan masalah teoritis, namun berasal dari hal-hal keseharian, dari pengalaman yang selama ini tersembunyi untuk dikemukakan. Cara Socrates membolehkan kita untuk tidak berteori, karena teori tidak akan membuat kita terhubung dengan realitas. Justru dengan berdasar pada pengalaman kita mendapatkan apa itu hidup yang selama ini kita anggap telah selesai.
  2. Komitmen untuk saling menghargai, tanpa meremehkan pendapat orang lain, terlihat sangat penting. Karena justru dengan memberi harga pada keberadaan kita jadi menemukan betapa pemahaman kita tidak bisa otomatis jadi berlaku bagi semua orang. Pembicaraan berdasar pengalaman khas dari masing-masing, telah berfungsi sebagai kritik (pembatasan) atas apa yang selama ini kita yakini, sebaliknya juga demikian.
  3. Berbicara dan mendengarkan pembicaraan orang lain menerbitkan rasa syukur terhadap apa yang kita lami dan rasakan.
  4. Terakhir, seperti dikemukakan Wolfe, "hakikat kepercayaan adalah keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyaakan".Dengan meragukan kepercayakan kita, kepercayaan itu akan menemukan kekentalannya. Demikian pun dengan realitas. 
Pemikiran Socrates adalah sebuah jalan berfilsafat yang unik. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.
Baca Selengkapnya → Pemikiran Socrates: Mencapai Kebahagiaan, Menyadari Jiwa, Dialog Socrates, dan Berfilsafat dari kehidupan sehari-hari