Tuesday, September 20, 2016

Pemikiran Socrates: Mencapai Kebahagiaan, Menyadari Jiwa, Dialog Socrates, dan Berfilsafat dari kehidupan sehari-hari


Pada abad ke-5 Sebelum Masehi muncul aliran baru, yaitu sofis. Kelahiran mereka berkaitan dengan perkembangan kota Athena yang luar biasa makmur dan menjalankan demokrasi secara bebas. Demokrasi Athena sangat menghargai jiwa warga negara. Dalam Pengadilan, misalnya mereka memilih juri berdasarkan undian. Juri-juri ini dipilih dari warga negara biasa dan hanya menjabat dalam periode singkat.

Dalam pengadilan ini penuntut dan terdakwa tampil secara pribadi, tidak diwakili oleh pengacara. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat Athena merasa perlu untuk memiliki keterampilan berbicara. Karena tanpa kemampuan itu, mereka tidak akan bisa membela diri di depan pengadilan. 

Untuk kepentingan itu, mereka menggaji orang yang pandai untuk menuliskan naskah pidato yang bagus dan memukau atau guru yang mengajari bagaimana berbicara secara memukau. Guru -guru inilah yang disebut sebagai Sofis.

Kata Sofis berarti Arif atau pandai atau bijaksana yaitu  gelar bagi mereka yang memiliki kearifan dalam menjalani kehidupan. Namun pada zaman ini, arti sofis berkaitan dengan orang yang pandai bicara, mempengaruhi orang dengan kemampuan berdebat. Aliran ini banyak dianggap sebagai aliran yang negatif, karena merelatifkan segala kebenaran.

Contohnya adalah Protagoras, salah satu tokoh terkemuka aliran ini, menyatakan bahwa:

Manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian pula.

Maksudnya adalah bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia masing-masing. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil pandanganku sendiri. Apa pandanganku ini benar bagi orang lain, sulit dipastikan, boleh jadi tidak. Apa yang dikatakan baik boleh jadi jahat bagi orang lain. Alamku adalah bagiku sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.

CARA MENCAPAI KEBAHAGIAAN MENURUT SOCRATES

Di tengah anggapan bahwa semua kebenaran relatif, cara pengungkapan yang memukau menjadi penting. Maksudnya, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi ( bukankah isinya sudah dianggap relatif), kebenaran tergantung pada bagaimana cara menyampaikannya, yang baik bisa tampak jahat ketika salah menyampaikannya dan sebaliknya.

Tokoh kedua dari kaum Sofis adalah Georgias. Ia hidup pada rentang tahun 483-375 di Leontinoi, Sisilia. Pada Tahun 427 ia datang ke Athena sebagai ahli pidato dan menjadi guru berpidato. Georgias menyatakan bahwa tidak ada satupun yang benar :

Tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tak dapat diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan.

Georgias menyatakan bahwa segala pemikiran atau pendirian adalah salah, dia menihilkan segala kebenaran. Berkebalikan dengan pernyataan Protagoras yang menyatakan bahwa segala pemikiran dan pendirian bisa jadi benar. Dan kenyataannya  pada waktu itu Retorika (Keterampilan mengolah kata-kata) adalah menjadi cara paling ampuh untuk meyakinkan orang.

Ditengah-tengah kuatnya pengaruh kaum Sofis, muncullah seorang Filsuf lain yang mencoba memberikan alternatif baru. Ia adalah Socrates. Lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Socrates setuju bahwa pada manusialah terletak pengatahuan. Namun ia tidak setuju dengan kebenaran relatif (Protagoras) dan Nihilitas kebenaran (Georgias).

Pertentangan dari Socrates ini ada benarnya. Bayangkan jika kita mempercayai bahwa tidak ada kebenaran yang bisa dipercayai, maka tindakan dan pikiran kita tidak akan terpacu untuk mencari kebenaran. Ini berarti kita berhenti untuk mencari tahu sesuatu karena percuma saja mencari kebenaran, orang semuanya sudah salah. Dalam hal ini Socrates memandang bahwa masyarakat Athena sudah terjebak dalam skeptisisme Protagoras dan Nihilitas Georgias yang pada akhirnya mengarahkan masyarakat Athena untuk condong ke arah duniawi (kekayaan, kemewahan, kesombongan, menang perdebatan, dll).

"Saya curahkan waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga dan harta kalian, melainkan demi kesejahteraan jiwa kalian. Kekayaan tidak akan membawa kebaikan, tetapi kebaikan akan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara."

Socrates mempercayai adanya satu kebaikan yang bisa dimiliki oleh semua orang, kebaikan itu ada dan tidak bisa diragukan lagi. Socrates mempercayai bahwa manusia bukan hanya badan, manusia memiliki jiwa. Jiwa adalah inti dari manusia, karena jiwa sebagai inti maka manusia wajib mengutamakan jiwanya (eudaimonia = memiliki jiwa yang baik). 

Hidup tanpa memperdulikan kondisi jiwanya sama saja dengan sekedar menempat, hanya hidup saja, dan tidak berarti apa-apa . Orang harus hidup yang baik, yaitu memiliki jiwa yang bahagia.

Lalu bagaimana orang bisa mencapai kebahagiaan? Socrates menyatakan bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan pengetahuan. 

Kebahagiaan adalah pengetahuan, demikian ujar Socrates.

Kebahagiaan seorang tukang sepatu adalah kebahagiaan/keutamaan yang menjadikan seorang tukang sepatu itu menjadi tukang sepatu yang baik, yaitu ketika ia memiliki pengetahuan akan pekerjaannya dan memiliki keahlian dalam bidangnya itu.

Kebahagiaan mahasiswa, guru, politikus, pedagang, ustad, petani, nelayan, sopir dan tukang bangunan tentu saja berbeda-beda tergantung dari kehidupan yang digelutinya setiap hari. Namun semua itu tergantung pada  2 hal :
  1. Pengetahuan tentang kehidupan yang digeluti.
  2. Praktek dalam kehidupan sesuai dengan pengetahuannya itu.
Kebahagiaan adalah pengetahuan, berarti segala kesedihan berasal dari ketidak tahuan. Tiadanya pengetahuan kita adalah menjadi sumber kesedihan kita. Tidak mungkin satu orang pun di dunia ini yang memilih ketidakbahagiaan atau kesalahan, jadi seluruh kesalahan dan ketidakbahagiaan kita berasal dari ketidak tahuan kita akan sesuatu hal tersebut.

Kebahagiaan tergantung pada pekerjaan? Ini terlihat agak relatif. Kalau begitu Socrates sama dengan guru-guru sofis? Mari kita amati lagi pemikiran Socrates. Bagi Socrates kebahagiaan terkait dengan kehidupan yang dihadapi seseorang. Setiap orang tentu memiliki pekerjaannya masing-masing, setiap orang menghadapi benda-benda yang khas sesuai dengan apa yang sedang dikejakannya itu. 

Kebahagiaan akan tercapai ketika ia sukses mengerjakan apa yang sedang digelutinya. Seorang tukang sepatu akan tersenyum puas jika ia dapat membuat sepatu yang baik, kuat dan indah ; sebaliknya ia akan kecewa ketika sepatunya cepat rusak dan tidak indah. Kepuasan itulah yang dimaksud Socrates dengan kebahagiaan atau kebaikan. Jadi, kebahagiaan seseorang adalah jika ia menyelesaikan dunia kehidupannya dengan baik.

Tapi bagaimana caranya agar orang bisa mengerjakan sesuatu dengan baik? Pengetahuan itulah jawabannya. Tanpa pengetahuan tentang hal ihwal sepatu, seorang tukang sepatu tidak akan bisa menghasilnya sepatu yang baik dan indah. Nah, bagi Socrates pengetahuan menjadi inti dari kebahagiaan. 

Jadi yang baik itu hanya ketika seseorang memiliki pengetahuan. Pengetahuan menjadi syarat umum yang harus dimiliki semua orang agar ia bisa sampai pada situasi bahagia. Pendapat Socrates yang menyatakan ada satu hal umum yang dimiliki oleh semua orang ini menunjukkan bahwa dirinya tidak sama dengan guru-guru sofis lainnya.

Kebahagiaan dikaitkan Socrates dengan "jiwa yang baik" atau eudaimonia . Apakah jiwa menurut Socrates? Apakah ia atom lembut yang bundar seperti pemikiran Democritos, atau udara seperti Anaxagoras? 

Jiwa manusia menurut Socrates adalah bagian dari Tuhan, jiwa berada dalam diri semua manusia dan membimbing arah kehidupan manusia ke arah kebaikan. Semua manusia memiliki jiwa karena itu semua manusia pada dasarnya baik. Namun Orientasi yang hanya terarah pada badan dan harta membuat manusia melupakan jiwanya, suatu kealpaan yang membuat manusia menderita.

BAGAIMANA CARA MENYADARI JIWA?


Dialog merupakan cara yang ditempuh Socrates. Ia berjalan-jalan ke seluruh pelosok kota, ke tengah pasar dan segala tempat keramaian untuk mengobrol dengan banyak orang. Socrates mengajak semua orang untuk membicarakan kehidupannya, mengkritisi apa yang selama ini dianggap baik dan benar sampai pada akhirnya menemukan kesadaran bahwa ada kontradiksi dalam keyakinannya, suatu hasil yang mengarahkan orang itu untuk menemukan apa yang baik tanpa kontradiksi. Pada saat itulah kita menyadari akan jiwa.

DIALOG SOCRATES

Dalam dialog Socrates tidak mengajarkan apapun, ia menolong mengeluarkan apa yang tersimpan dalam jiwa orang yang selama ini terkubur oleh pengetahuan yang salah. Salah satu pengetahuan yang salah itu adalah bahwa seseorang telah tahu banyak semua urusan hidup, merasa ahli.

Seorang ahli biasanya merasa bahwa seluruh kehidupan bisa dipahami melalui konsep-konsep yang telah dimilikinya. Jadi tak ada lagi yang tidak bisa dipahami. Sikap ahli ini membuat orang menganggap remeh pada gejala-gejala kehidupan yang dialami sehari-hari, yang kemudian akan membuatnya gagal dalam menjalani kehidupan.

Dalam konteks ini pernyataan Socrates, " Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa" menjadi penting. Karena bagi Socrates kesadaran akan kebebalan mengarahkan manusia untuk bisa terbuka pada segala kemungkinan terbaik bagi jalan hidup seseorang.

Lewat dialog, Socrates berlaku seperti seorang bidan. Tugasnya membantu orang lain bahwa dirinya memiliki bayi "jiwa yang baik" untuk kemudian dilahirkan melalui penyadaran akan ketidaktahuannya. Sebagai seorang bidan Socrates mengajak kawan dialognya untuk menemukan pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala yang berubah, yang tak pasti. Biasanya ia memulai perbincangan dengan pertanyaan "Apa itu? Apa itu indah? Apa itu bahagia? Apa itu berani ? Batu setelah itu ia meneruskan pertanyaan "Apa yang menjadi sebab semua itu?"

Metode dialog socrates bermula dari "induksi untuk menemukan defenisi". Defenisi ini membentuk suatu pengertia yang berlaku umum. Pertanyaan "Apa itu?" merupakan pertanyaan awal dalam metode induksi Socrates. Induksi Socrates  bukan seperti  metode induksi yang kita pahami sekarang ini.Saat ini induksi berarti cara berpikir dari yang khusus menuju yang umum. Induksi bagi Socrates adalah memperbandingkan secara kritis. Gambaran metode ini dengan baik dikemukakan oleh Muhammad Hatta:

"Ia tidak berusaha mencapai kesimpulan dari penjulah hal-hal yang partikular. Ia mencoba mencapai kesimpulan dengan contoh dan perbandingan, lalu diuji dengan meminta pendapat pada lawan dialognya. Dari lawan bicaranya, yang ahli dalam satu hal, ia meminta definisi mengenai apa yang sedang dibicarakan menurut keahliannya. Misalnya tentang berani, indah dan lainnya. Pengertian yang diperoleh ini kemudian diuji silang pada beberapa keadaan dalam kehidupan yata. Jika dalam pengujian ini pengertian yang ditemukan tidak bisa diterapkan, maka pengertian itu diperbaiki definisinya. Definisi baru itu kemudian iduji dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang lebih sempurnya. Demiian seterusnya." 

 Socrates dianggap sebagai filsuf sejati. Ia rela dihukum mati ketimbang berhenti berfilsafat, inilah alasan utamanya. Dalam The Gay Science Nietsche menulias pujian untuk Socrates,

"Saya memuji keberanian dan kebijaksanaan Socrates dalam semua hal yang ia lakukan, yang ia katakan - dan yang tidak ia katakan. Socrates adalah yang berhati jenius. Yang suaranya mampu menyentuh kedalaman jiwa setiap orang. Yang mengajar orang untuk mendengarkan, yang menghaluskan jiwa-jiwa yang kasar, dan membiarkan kekayaan yang terlupakan dan tersembunyi, tetesan kebaikan, yang karena sentuhannya setiap orang diperkaya, bukan karena menemukan rahmat ataupun kekaguman, bukan karena diberkati dan ditekan oleh kebaikan orang lain, tetapi karena menjadi lebih kaya dalam dirinya sendiri, terbukan-barangkali kurang yakin- tetapi penuh dengan harapan yang sampai sekrang belum memiliki nama."

Socrates disebut filsuf sejati karena ia tidak menjadikan filsafat sebagai teori-teori yang ruwet dan membosankan. Ia adalah filsuf seperti yang digambarkan Walter Kauffman. Seorang filsuf, begini ungkap Kauffman, adalah orang yang memerangi ketakutan kita " untuk memahami sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan dan kepercayaan umu" dan menocba membuat kita "lebih sensitif terhadap cara pandang yang lain, dan menunjukkan bagaimana pandangan yang dicerca dan dimengerti secara keliru oleh banyak orang terasa  dan terlihat dari dalam.

Pada diri Socrates kita dapat belajar mengenai satuhal : bahwa berfilsafat pada awalnya harus bermula dari diri sendiri. "Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani," begitu ujar Socrates. Ia mengajak kita untuk tidak sekedar menempat, seperti botol di kotak minuman. Manusia bukan botol, ia memiliki jiwa yang menyimpan peta menuju kebahagiaan. Namun kita seingkali seperti botol itu, terjebak dalam kebiasaan-kebiaasan yang tak pernah disadari mengapa seperti itu.

Misalnya, kita setiap hari sering diperbudak oleh rasa iri, marah, cemburu, takut, malu atau sedih. Karena semua orang juga mengalami hal yang sama, kita jadi tak perduli pada situasi itu. Akhirnya kita terus-menerus berada dalam lingkungan kemarahan yang sama, dan kita tak pernah bisa berbahagia. Maka bertanyalah, ingatlah bahwa " kebahagiaan/kebaikan adalah pengetahuan" ; melalui pertanyaan kita bisa mendapatkan pengetahuan yang akaan mengarahkan kita pada hidup baik. Kauffman, dengan merujuk pada metode Socrates, menuliskan contoh cara mempertanyakan hidup:

"Sebagai awal, orang dapat bertanya pada dirinya sendiri " Apakah saya bebas dari kemarahan? Dan jika tidak, tanyakanlah : terhadap apa saya marah? persisnya seperti apa? Dan seberapa rasional hal itu, sehingga saya membenci ini dan bukan itu? Pada tahap ini jangan pikirkan apakah anda merasa dapat melepaskannya. Tanyakan saja pada diri anda, apakah anda ingin menjadi lebih baik? Pikirkanlah alternatif-alternatif yang ada dengan menggunakan imajinasi anda. Anda tidak memerlukan seseorang psikoanalis untuk melakukannya, anda dapat melakukannya kendatipun sama sekali tidak mudah. Dan yang lebih berat, tentu saja, adalah terus melepaskan kemarahan, teteapi hal itu juga dapat dilakukan sekalipun membutuhkan waktu banyak"

 

 BERFILSAFAT DARI KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Dalam dialog Socrates, setiap jawaban memunculkan pertanyaan, sedang dalam dialog resmi ilmiah setiap pertanyaan menghasilkan jawaban.
Dari Socrates kita menemukan suatu cara berfilasafat yang bisa dengan mudah kita lakukan. Socrates menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai dasar dan tujuan kegiatan berfilsafat. Tidak ada istilah yang ruwet dalam kegiatan berilsafat ala Socrates. Semua orang bisa melakukannya. 

Alasan yang pertama, semua orang memiliki dunia kehidupannya. Dunia kehidupan ii belum tentu telah dijalani dengan baik sehingga menghasilkan kebahagiaan yang tulus. Bisa saja dunia kehidupan itu dilakukan dengan terpaksa atau menuruti kebiasaan orang kebanyakan. Dengan merunut pada kebiasaan awam semisal itu, bisa dipastikan tidak dapat menghasilkan kebahagiaan. Inti dialog adalah melahirkan kesadaran hidup baik dari diri sendiri dan kawan bicara. Bagaimana orang harus hidup merupakan urusan semua orang, karena itu dialog dengan tujuan hidup baik adalah penting bagi siapapun.

Alasan kedua, semua orang memiliki kegelisahan akan kehidupan yang terus-menerus dibayangi kegelisahan atau ketidakpuasan. Namun ketidakpuasan ini jarang terungkap, seringkali kita menganggapnya sebagai gelaja kejiwaan yang biasa-biasa saja. Jadi tak pernah dipersoalkan. Lama kelamaan ketidakpuasan itu terus menumpuk dan menghasilkan kesadaran palsu, kita jadi teramat pemarah tanpa alasan yang jelas atau menjadi sangat pemalas. Kita jadi pemarah karena ketidakpuasan yang telah menumpuk itu tidak tak menemukan cara pembebasannya, ia terkurung dan ingin diekspresikan. Namun sekian lama tidak dibahsakan membuat kesadaran itu menjadi sulit dipahami. Pada saat itu yang muncul adalah emosi-emosi yang tak juntrung sebabnya. Demikian pun dengan rasa malas, biasanya rasa malas bermula dari keputusasaan : karena hidup selalu tidak memuaskan maka tak perlu lagi ada usaha. Dialog mode Socrates merupakan pembebasan.

Alasan ketiga, semua orang memiliki pertanyaan terhadap dunia kehidupannya. Juga memiliki sejumlah gagasan dan impian mengenai bagaimana cara hidup yang bahagia. Metode Socrates membutuhkan kejujuran terhadap apa yang dialami, dipikirkan dan dilakukan untuk dikemukakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan rumusan-rumusan sederhana. Metode Socrates tidak membutuhkan  pertanyaan yang ruwet atau jawaban yang ilmiah. Pertanyaan/jawaban yang baik adalah pertanyaan/jawaban yang berdasar teori merupakan kebiasaan kaum Sofis ini ditentang oleh Socrates.

Alasan Keempat, saat ini kita sebenarnya hidup ditengan kerumunan masyarakat Sofis. Ada banyak barang yang kita gunakan bukan berdasar kebutuhan kita terhadap barang tesebut, namun karena kemasan iklan yang merayu secara cerdik. Misalnya, karena di kepala kita sudah tertanam bahwa " hanya yang ilmiah sajalah yang benar, hanya yang telah diuji di laboratorium sajalah yang benar" maka kita tertarik untuk membeli detergen tertentu setelah melihat iklan yang sedemikian ilmiah. Ingat ungkapan Kaum Sofis, "kebenaran atau kesalahan tergantung pada pengolahan kata-kata". Seluruh iklan itu pada dasarnya cara pengolahan barang agar terkesan lebih berkualitas ketimbang barang yang sejenis, walaupun belum tentu demikian.

Belum lagi kita juga berhadapan dengan kaum Sofis dari agamawan dan politikus. Mereka sedemikian cerdas mengolah kata, meyakinkan diri kita tentang apa yang patut segera dilakukan. Semuanya dikemas dengan kalimat ," semuanya untuk kebahagiaan bersama", walaupun pada kenyataannya kemudian semuanya untuk kepentingan tokoh-tokoh itu.

DIALOG SOCRATES BERKELOMPOK

Berikut tips panduan dialog Socrates secara berkelompok:
  1. Buatlah kelompok dialog, yang secara sederhana sukarela mau mengobrolkan persoalan-persoalan keseharian dan keyakinan secara terbuka.
  2. Buatlah dengan tema-tema sederhana, misalnya tentang rumah, pacaran, kerja, tetangga, belajar, dll.
  3. Buatlah dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: apa maksudnya? Siapa yang setuju dan siapa yang menentang hal itu? Adakah cara-cara lain untuk meikirkannya, yang lebih masuk akal danlebih dapat untuk terus dipertanggungjawabkan? Seluruh pertanyaan diupayakan untuk terus-menerus menggali konsekuensi-konsekuensi gagasan tertentu dan kemudian menawarkan alternatif dan keberatan yang menantang.
  4. Seluruh sanggahan, rumusan, pertanyaan, dan komentar peserta dialog sangat berharga. Jadi tak ada satupun yang dianggap remeh, semuanya berharga bagi perbaikan kesadaran masing-masing peserta dialog.
  5. Jika dialog tersebut tidak menyentuh kesadaran kita, tidak menyusahkan, secara mendan spiritual tidak menantang dan membingungkan, dengan cara yang indah dan menggairahkan, dialog tersebut bukan dialog Socrates.
 Sebagai contoh dialog Socrates secara berkelompok dikutipkan dari buku Socrates Cafe :

"Anda tinggal dimana?"
"Saya tinggal di Roma selama bertahun-tahun.Saya seorang dokter anak di sana. Tetapi saya tidak menganggap tempat itu sebagai rumah saya"
"Apakah anda berasal dari Jerman?"
"Dalam arti tertentu, ya. Saya dilahirkan di sana. Tetapi saya rasa dalam kenyataannya saya tidak pernah benar-benar memiliki rumah. Saya tidak yakin apakah yang disebut rumah itu memang ada."
"Rumah tidak ada?"

Saya tidak mendesak agar ia menjelaskan pernyataannya saat itu juga karena sudah saatnya Cafe Socrates dimulai. Ruang tempat kami berkumpul bersifat informal, hampir seperti di rumah sendiri. Ruang itu bermeja antik berbentuk bundar,dengan taplak kain berwarna putih cerah dan kursi-kursi berbantal nyaman.

"Apa itu rumah?" Saya bertanya kepada sekitar tiga puluh peserta atau lebih yang ada di ruangan itu, sambil bertukar pandang dengan wanita yang berbicara dengan saya tadi. Pada saat yang bersamaan ia tersenyum dan mengerutkan dahi padaku.

Wanita yang duduk persis di sebelahnya, sebut saja "Mildred" berkata,"Saya akan mengatakan pada anda apa yang bukan rumah itu?". Sambil akan mengatakan pada anda apa yang bukan rumah itu?". Sambil menepukkan tangannya pada kursi tempat ia duduk, ia lalu mengatakan dengan penuh perasaan,"Tempat ini bukan rumah saya, satu-satunya alasan saya mengapa saya di sini adalah bahwa anak-anak saya membuang saya ke sini.Saya ingin berada di tempat lain di mana pun kecuali di sini. "Kemudian ia sedikit mengenang masa lalunya di New York. Dengan kebanggaan yang sangat kentara itu, ia mengatakan bahwa ia pindah ke sana enam dekade yang lalu untuk menadi seorang pekerja sosial. Hal itu bertentangan dengan harapan keluarganya, "Saya meninggalkan rumah yang besar dan nyaman di Midwest atas pilihan saya sendiri dan membangun rumah baru untuk diri saya sendiri dan membangun rumah baru untuk diri saya sendiri di Bronx. "Ia hampir kelihatan bersinar penunh kebanggaan ketika mengatakan hal itu. Lalu ekspresinya tampak meredup kembali. Ia memandang semua orang di dalam ruangan itu,"Tetapi saya tidak berada di sini karena pilihan saya sendiri. Maka, ini bukan rumah saya sendiri. Rumah adalah tempat yang anda pilih untuk hidup."

Alex  :"Sangat sedikit di antara kita yang memiliki kemewahan untuk memilih di mana kita hidup. Saya hidup di tempat di mana saya dapat menemukan pekerjaan dan menyediakan rumah yang nyaman bagi istri dan anak-anak saya."

Anne : "Rumah adalah tempat di mana anda tidur. Tempat ini adalah tempat di mana saya tidur. Tempat ini adalah rumah saya."

Lalu Mildred berteriak,"Berapa orang di antara anda yang merasa bahwa tempat ini adalah rumah anda?"

Hanya tiga orang yang mengacungkan tangannya, dan mereka melakukannya dengan ragu-ragu. "Saya harus mengakui bahwa saya terkejut karena sedikit sekali di antara anda yang menganggap tempat ini sebagai rumah anda," kata Anne.

"Tempat ini adalah salah satu rumah saya," ujar Susan (wanita berambut abu-abu cerah terurai sebatas punggung),"saya juga masih punya rumah di Florida."

"Tidak sih, tetapi saya tidak pernah merencanakan menjualnya. Selama saya memiliki rumah itu, saya merasa bahwa saya masih memiliki rumah di sana", Susan berhenti sejenak. "Bagaimana dengan ungkapan buatlah diri anda kerasan seperti di rumah sendiri? Hal itu membuat saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, dimanakah saya dapat kerasan seperti di rumah sendiri? Sekalipun saya telah tinggal di sini selama beberapa tahun, tempat ini masih saja terasa sebagai bangunan tempat tinggal semata. Di sini saya masih merasa seperti ketika dulu saya tinggal di sana, rumah tersebut masih semata-mata merupakan bangunan tempat itnggal. Diperlukan waktu beberapa lama untuk menjadikan bangunan itu sebuah rumah , tidak hanya bangunan tempat saya belajar masak, di mana saya menjalin persahabatan yang langgeng dengan beberapa teman, di mana saya jatuh cinta". Ia berhenti sejenak, menghela nafas,"Saya pikir, pada akhirnya saya kan memandang tempat itu sebagai rumah, tetapi saya belum akan memandangnya demikian. Tempat itu masih merupakan sekedar bangunan tempat tinggal."

"Bagaimana sebuah bangunan rumah dapat benar-benar menjadi benar-benar rumah?" tanya saya, memancing.

Robert, seorang peserta yang sinis, berkata," Sya kira perama-tama anda harus tinggal di sana. Bahkan jika ada tempat lain yang mungkin lebih anda suaki, jika anda sudah memilih anda sudah harus menyatakan itulah tempat anda, itulah rumah anda. Saya tidak merasa begitu dengan tempat ini, dan saya tidak tahu apakah saya akan pernah merasa begitu."

"Saya pikir saya tidak pernah menganggap tempat-tempat yang secara fisik saya tinggali semenjak saya dewasa sebagai rumah", kata saya. "Saya kita saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan terhadap bangunan tempat tinggal. Dulu saya berpikir bahwa hal itu disebabkan oleh seringnya saya berpindah-pindah tempat, tetapi kemudia saya berpikir bahwa sebagai anak kecil, saya juga sering berpindah-pindah,namun cepat sekali saya menganggap tempat mana pun sebagai rumah, bukan semata- mata bangunan tempat tinggal."

Setelah berhenti sebentar untuk mengumpulkan gagasan lain say berkata,"Kadangkala saya berpikir bahwa satu-satunya kesempatan di mana sya merasa kerasan adalah ketika saya sedang dalam perjalanan. Sebagai wartawan, selama bertahun-tahun, saya berkerja hadiskan sebagian besar malam saya di penginapan. Hingga hari ini setelah saya pulang ke rumah selama lebih dari satu minggu, saya mulai merasa gelisah. Saya mengambil atlas lalu melihat semua tempat yang pernah saya kunjungi dan semua tempat yang ingin saya datangi."

Seorang wanita yang agak pemalu, Audrey namanya, setelah sejal awal ragu-ragu mengemuikakan gagasan akhirnya angkat bicara, "Saya menjalani hidup masa dewasa saya dalam sebuah apartemen yang indayh di Manhattan. Selama tinggal di sana, saya tidak pernah merasakan tempati tiu sebuah rumah saya," ia diam dalam beberapa saat," Saya bertanya-tanya hal tiu disebabkan akrena tempat itu hanya merupakan apartemen, bukan rumah yang sesungguhnya. Tetapi saya juga tidak berpikir bahwa tempat ini adalah rumah saya.Seandainya saya tahu alasannya."

"Apakah rumah yang sesungguhnya itu?", tanya saya.

"Rumah yang sesungguhnya adalah tempat di mana anda mengetuk dan mereka mempersilahkan anda masuk, kata Mildred. Sambil melihat Audrey ia meneruskan, "Saya yakin bahwa anda tidak menganggap bahwa tempat tinggal sebagai rumah karena tempat itu bukanlah tempat yang anda pilih, tetapi yang dipilihkan bagi anda. Sekalipun mereka mempersilahkan anda masuk, anda tidak pernah mengetuknya."

"Saya kita anda memang benar," terdengar jawaban lembut dari wanita tua yang sedari tadi diam di sudut ruangan.

"Rumah yang sesungguhnya adalah tempat anda lahir dan dibesarkan. Rumah masa kecil saya yang dekar di sini, yang masih ditinggali orang tua saya, tidak lagi terasa sebagai rumah saya," kata saya kepada wanita tua suara lembut. "Kamar tidur saya perlahan tapi pasti menjadi kamar ekstra bagi ibu saya. Bahkan sebenarnya saya dusah tidak mempunyai kuncinya lagi."

"Anda sudah tidak bisa pulang lagi ke rumah," sahut Jhon."Atau barangkali anda bisa pulang, tetapi rumah anda tidak bisa seperti yang dulu lagi, dan anda tiodak sama seperti yang dulu. Anda dapat kembali, tetapi apakah tempat itu masih merupakan rumah? Atau apakah tempat tersebut merupakan rumah baru? Apakah tempat itu menjadi rumah bagi orang asing?"

Cara dia mempertanyakan kembali pandangan saya tentang rumah, mengingatkan saya pada George Webber, tokoh protagonis dalam novel You can't go home, yang mengatakan bahwa," Hakikat kepercayaan adalah keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyakan. "Bagi Webber rumah adalah tempat anda berasal, dan tempat anda tinggal untuk menemukan dunia di luar sana dan dalam proses tersebut anda memecahkan cangkang telur keberadaanmu. Beberapa tahun kemudian, Webber kembali ke kampung halamannya. Bagian akhir yang mengesankan dari buku itu ketika penduduknya marah terhadap isi bukunya yang memberi komentar menyakitkan tentang kampunghalamnnya. Bagian akhir yang mengesankan dari buku tersebut konon berasal dari suara yang di dengar Webber di malam hari, yaitu ," Kehilangan dunia yang engkau kenal, demi pengenalan yang lebih benar, melepaskan hidup yang engkau miliki, demi kehidupan yang lebih besar ; meninggalkan teman-teman yang engkau cintai, untuk cinta yang lebih besar; untuk menemukan tempat yang lebih baik daripada rumah, lebih luas dair bumi." Di tempat-tempat persinggahannya yang jauh, Thomas Wlfe sendiri tampaknya menemukan " tempat yang lebih baik daripada rumah". Tetapi jelas bahwa ia tidak menganggap tempat itu sebagai rumah. Da, sekalipun ia tidak menganggap bahwa dirinya tidak dapat pulang kembali, ia masih menganggap bahwa rumah masa mudahnya dalah rumahnya. Itu merupakan bagian dari dasar keberadaannya. Dalam pengertian fisik dan eksistensial. Wolfe merasakan keberakaran dan keterkaitannya di sana, sehingga perbedaan waktu dan tempat sejauh apa pun tidak akan mampu menghapusnya, dan bahwa tidak ada tempat lain di planet ini, betapapun baiknya, yang dapat menggantikannya.

Setelah merenung sejenak, wanita dokter anak yang memberi inspirasi awal pembicaran ini, berkata,"Rumah adalah tempat di mana temanmu berada. Saudara laki-laki saya ada di sini. Dan, dalam waktu dua bulan saya sudah berteman dengan empat orang. Dan itu cukup." Ia berhenti sejenak dan kemudia berbicara sedikit ragu,"Jadi, tempat ini berangsur-angsur menjadi rumah, yang semacam itulah."

"Rumah adalah tempat di mana hatimu berada," ujar Mildrerd.

"Apa itu artinya?" saya ingin tahu.

"Itulah tempat di mana anda mempunyai kenangan yang menyenangkan," jawabnya." Itulah tempat di mana saya belajar naik sepeda dan menyetir mobil, tempat di mana saya mendapatkan ciuman pertama, tempat saya datang untuk berkumpul kembali dengan keluarga, tempat yang menjadi tujuan hampir semua telepon jarak jauh saya. Rumah adalah tempat khusus yang saya cintai lebih daripada yang lain."

"Saya berasal dari keluarga yang retak," Bill yang semula diam, tiba-tiba angkat bicara. " Saya tidak memiliki kenangan yang manis sedikitpun  di sana, tetapi tempat tempat itu masih merupakan rumah bagi saya. Saya kita  lebih baik mengatakan bahwa rumah merupakan tempat di mana anda memiliki kenangan, entah emnyenagnkan atau tidak. "Ia berhenti dan kemudian," Tetepi saya bertanya apakah itu benar. Maksud saya, kita mempunyai banyak kenangan selain rumah."

" Saya kira kenangan itu sendiri adalah sejenis rumah," ujar lelaki yang berdiri di pinggir Diana." Vladimir Nabokov menulis, kenangan adalah satu-satunya real estate. Mungkin yang ia maksudkan adalah bahwa anda dapat dilepaskan dari segala sesuatu yang anda miliki, tetapi tidak seorang pun dapat mengambil kenangan atau ingatan anda."

"Kakak perempuan saya menderita Alzhemeir, maka dia kehilangan ingatan dan identitasnya," kata Jean. Semua orang terdiam. Jean akhirnya meneruskan,"Saya sungguh berpikir bahwa kita sudah tersesat terlalu jauh ketika kita mulai bicara tentang tempat-tempat yangbukan bangunan fisik sebagai rumah. Misalnya, saudara perempuan saya tinggal di sebuah rumah perawatan. Bahkan lebih sering ia tidak tahu di mana sesungguhnya ia berada, tetapi tempat itu tetap rumahnya."

"Jika demikian, lalu apkah semua tempat di mana kita masing-masing pernah tinggal dalam hidup kita dapat disebut sebagai rumah?" tanya saya.

"Tidak", tukas si dokter anak,"Saya dilahirkan dan dibesarkan di Jerman. Dulu itu kampung halaman saya, tetapi sama sekali bukan rumah saya". Ia terus menceritakan bagaimana ia dan keluarganya harus melarikan diri dari Jerman karena ada ancaman penganiayaan terhadap Yahudi.Dari san ia pergi ke Italia," Jerman tak pernah menjadi rumah bagi saya."

"Tetapi anda berasal dari Jerman," seorang wanita berkata padanya.

"Itu bukan rumah saya."

"Baiklah, sekalipun tampaknya kita semua mempunyai gagasan yang paling tidak agak berbeda mengenai apa itu rumah dan di mana rumah kita," kata saya,"Adakah semacam benang merah yang menghubungkan gagasan kita masing-masing tentang rumah?"

Wanita yang duduk di pinggir saya, berbicara hampir tanpa jeda, "Tampaknya rumah adalah tempat, tempat yang spesial, di mana kita masing-masing dalam arti tertentu tinggal. Bagi banyak orang di antara kita, tempat ini baik dan nyaman, bagi yang lain rumah itu bisa menakutkan dan tidak nyaman. Tetapi dalam semua contoh tersebut, tempat tersebut tetap merupakan rumah."

"Saya pikir anda benar" kata pria kurus dengan suara yang lirih (selama ini ia diam saja). Kemudian ia berkata ,"Setiap kali ada perang di dekat rumah kami, akami kan pindah. Selama masa kecil saya, untuk menghindari Revolusi Bolshevik, kami pindah dari Rusia ke Kanada. Akhirnya kami pindah ke Hawaii, lalu ke daratan Amerika Serikat ketika Perang Dunia Ke-2. Saya tahu bahwa sebagian orang di sini tidak cocok dengan pandangan ini, tetapi rumah bagi saya bukanlah bangunan tempat tinggal. Rumah adalah keluarga saya. Rumah saya adalah orang-orang yang paling saya cintai".

"Sayalah satu-satunya keluarga yang pernah saya miliki," seseorang tua, bungkuk dan bertongkat butut. "Saya dibesarkan di sebuah panti asuhan, suatu tempat yang sama sekali tidak menyenangkan bagi saya. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai rumah. Setelah saya meninggalkan panti asuhan, saya sendirian dan mengandalkan disaya sendiri, sampai saat ini, ketiak saya tak punya pilihan lain kecuali harus menerima bantuan para staf di sini. Tetapi seperti yang dikatakan staf tadi pada awal percakapan iin, tempat ini bukan rumah saya." Kemudian ia menepuk dadanya dan berkata ,"Sayalah rumah bagi saya."

Beberapa lama kami terdiam.Akhirnya pria kurus yang berbicara sebelum Pak Tua ini megnatakan ," karena diskusi ini dinamakan Cafe Socrates, saya berpikir tentang Socrates. Dan, sayapikir bagi Socrates, rumah adalah seluruh Athena. Dan itu merupakan salah satu alasan kenapa ketika pengadilan yang memberi Socrates pilihan untuk menginggalkan Athena daripada dihukum mati, ia tetap emnolaknya. Karena pergi dari Athena akan membuatnya merasa tidak punya rumah. Ia lebih suka mati daripada tidak punya rumah".

Ia memandang dokter anak. "Jerman hanyalah tempat asalmu. Seperti yang anda katakan tadi, rumah adalah tempat di mana orang yang anda cintai berada." Hal ini mendorong saya untuk mengatakan ," Ketika saya pergi bersama ibu ke sebuah kamp tambang batu bara di Virginia, tempat beliau dilahirkan, saya berkata kepadanya," Jadi ini adalah rumah ibu". Beliau menjawab, "ini adalah tempat asal ibu, tetapi kamu adalah rumah ibu."

"Apakah ibu anda selalu membuat anda merasa nyaman untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan?" dokter anak itu kembali berbicara. "Ya, benar" kata saya kepadanya. Ia meminta saya untuk bercerita lebih banyak lagi tentang ibu.

"Kamp tambang batu bara tempat dia dilahirkan dan dibesarkan tersebut masih ada di sana, masih utuh, sekalipun tempat itu sudah menjadi kota hantu tak berpenghuni. Sejak pertama kali saya pergi ke sana. Saya mencoba membayangkan bagaimana ibu saya, dalam lingkungan yang sangat menekan ini, dapat membayangkan bahwa ada dunia lain, atau kemungkinan-kemungkinan lain bagi dirinya.

Entah bagaimana dengan sedikit dorongan dari orang lain, ibu saya mengembangkan kecintaan pada tulisan. Ia akan menyelinap ke sebuah perpustakaan kecil yang dibangun oleh pemilik pertambangan, setiap kali ada kesempatan dari membaca buku apa saja yang dapat dia peroleh di sana. Dengan emmbaca, dia mulai menemukan dunia yang ada di seberang gunung-gunung itu, dan dia mulai menemukan alam semesta dalam pikirannya. Saya pikir saya belum pernah bertemu dengan seorang pemikir kritis yang lebih berbakat daripada ibu saya.

Bahkan ketika saya masih kanak-kanak, daripada memberitahu saya satu jawaban, ibu mendorong saya untuk mengembangkan sistem kepercayaan sendiri, untuk menemukan jalan saya sendiri, kebenaran saya sendiri, dengan pikiran saya sendiri. Saya adalah tukang bertanya yang terus menerus menghujaninya dengan pertanyaan demi pertanyaan. Tetapi ia tidak pernah menjawab, "karena memang sudah begitu adanya". Dia tidak pernah sedikitpun jengkel oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya. Bahkan, tampaknya dia sangat menikmati setiap pertanyaan yang saya ajukan.Apakah saya bertanya,"Mengapa langit berwarna biru? Atau "Mengapa ada langit ? Atau "Mengapa ada pertanyaan? Jawaban pertama yang biasa di aberikan adalah "Mengapa kamu berpikir bahwa langit itu berwana biru, bahwa ada langit, dan bahwa ada pertanyaan-pertanyaan?" Dan dari awal yang demikian itu, kami akan berdialog. Ia menantang dan mendorong saya untuk menemukan jawaban-jawaban saya sendiri."


Kesimpulan dari Dialog di Cafe Socrates di atas adalah:

  1. Berfilsafat bukan masalah teoritis, namun berasal dari hal-hal keseharian, dari pengalaman yang selama ini tersembunyi untuk dikemukakan. Cara Socrates membolehkan kita untuk tidak berteori, karena teori tidak akan membuat kita terhubung dengan realitas. Justru dengan berdasar pada pengalaman kita mendapatkan apa itu hidup yang selama ini kita anggap telah selesai.
  2. Komitmen untuk saling menghargai, tanpa meremehkan pendapat orang lain, terlihat sangat penting. Karena justru dengan memberi harga pada keberadaan kita jadi menemukan betapa pemahaman kita tidak bisa otomatis jadi berlaku bagi semua orang. Pembicaraan berdasar pengalaman khas dari masing-masing, telah berfungsi sebagai kritik (pembatasan) atas apa yang selama ini kita yakini, sebaliknya juga demikian.
  3. Berbicara dan mendengarkan pembicaraan orang lain menerbitkan rasa syukur terhadap apa yang kita lami dan rasakan.
  4. Terakhir, seperti dikemukakan Wolfe, "hakikat kepercayaan adalah keraguan, hakikat realitas adalah mempertanyaakan".Dengan meragukan kepercayakan kita, kepercayaan itu akan menemukan kekentalannya. Demikian pun dengan realitas. 
Pemikiran Socrates adalah sebuah jalan berfilsafat yang unik. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.

No comments:

Post a Comment