Thursday, September 22, 2016

Pemikiran Plato : Logos dan Cara Menemukan Kebenaran (Dunia Ide)

Plato (427 SM-347SM ) adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani. Penulis Philosophical dialogs dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, Sekolah Tinggi pertama di dunia Barat. (Wikipedia).

LOGOS

Apakah Logos itu?
Plato menyebutkan bahwa pasti ada sebuah realitas di balik dunia materi. Dia menyebut realitas ini dunia ide, di situ trsimpan "pola-pola" yang kekal dan abadi. Pola-pola itu tak bisa ditemukan beigtu saja dengan sekali lihat, ia membutuhkan pemikiran yang menggunakan akal. Kemampuan akal menemukan pola itu disebut sebagai ide. Logos adalah humkum yang menguasai segala sesuatu, yang juga menguasai manusia, disini logos berarti dunia ide. Namun logos kerap dimaknai juga sebagai pikiran yang sanggup menangkap hukum Logos, di sini logos berarti idea.

Bagi Plato kenyataan yang kita alami di dunia ini hanyalah bayangan dari logos, sebagai bayangan tentu saja tidak memiliki keberadaan yang mandiri. Bayangan ada karena ada benda yang dipantulkan cahaya. Ada yang sejati atau Logos (dengan "L" besar) adalah sumber dari bayangan, sumber dari kenyataan duniawi ini. Namun pada diri kita masing-masing terdapat bagian dari ada sejati itu, seperti yang dikatakan oleh Socrates bahwa masing-masing manusi memiliki "jiwa yang baik" yang merupakan bagiandari Tuhan. Nah, bagian yang berada di dalam diri kita itu disebut sebagai logos  juga (dengna "l" kecil).
Lebih mudahnya, kita mengutip amsal Jostein Gaardner:

"Jika kamu lihat kue pancong, kamu menemukan bentuk kue yang sama. Berapa pun kamu beli kue itu, semuanya berbentuk sama bukan? Setengah elips, seperti bulan setengah.
Pertanyaannya, kenapa semuanya berbentuk sama?
Kamu bisa jawab, Tentu saja, mudah. Karena kue itu dibuat dalam satu cetakan yang sama. Semua adonan dibuat oleh mamang tukang pancong dalam cetakan yang sama. Jadi wajar saja jika semuanya memiliki bentuk yang sama."


Gaardner membicarakan perihal "pengenalan bentuk" dan "penemuan cetakan". Cetakan kue pancong tentu saja tidak berada di dalam kue pancong, ia terpisah namun menjadi penentu bentuk dari kue pancong. Tanpa "cetakan" tak akan ada kue pancong, yang ada hanyalah adonan tepung dalam bentuk pasta. Cetakan itu adalah Logos, dunia ide yang menyimpan pola-pola ada sejati yang berada terpisah dari kenyataan benda-benara duniawi.

Sebelum menemukan kesimpulan bahwa ada cetakan yang menyebabkan kesamaan kue pancong, kita mengenali adanya kesamaan bentuk dari kue-kue pancong tersebut. Pengenalan kesamaan bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh pikiran dengan cara membandingkan satu kue degnan kue lain. Indera hanya mencerap benda-benda, ia tak pernah bisa membandingkan satu hal dengan hal lain. Di sinilah, pikiran disebut logos (dengan "l" kecil" karena kemampuannya dalam mengenali bentuk dan menghubungkannya dengan cetakan.

Plato di sini menegaskan perbedaan antara "dunia yang berubah"  dan "yang kekal" sekaligus juga mengusung persoalan cara mengenali keduanya; bagi Plato panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu, dan akal tidak dapat mencerap sesuatu. Hanya bila kedua-duanya bergabung timbullah pengetahuan; mencerap tanpa dibarengi proses berpikir akal budi sama dengan kebutaan, pikiran tanpa isi dari indera sama dengan kehampaan.

Puncak-puncak pengetahuan baru tercapai, bila kesatuan antara pengetahuan inderawi dan akal budi sama-sama dialami. Demikianlah kira-kira pengertian tentang ide sebagai lawan dari indera. Idea memang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan arti "melihat", jadi idea bagi Plato bagaimanapun terkait juga dengan kerja indera (menerima data dari indera baru kemudian muncul idea dalam ruang pikiran) bukan sesuatu yang abstrak (terlepas begitu saja dari realitas).

Lalu Bagaimana Cara Akal Untuk Mendapatkan Ide?

Plato adalah salah seorang murid Socrates yang dengan setia meuliskan seluruh gagasan gurunya. Lebih dari itu kekagumannya pada Socrates membuatnya menuliskan segala pemikirannya sebagai ucapan Socrates.

Pada Socrates kita telah menemukan rumusan inti dari ajarannya, yaitu kebaikan adalah pengetahuan. Rumusan ini menimbulkan pertanyaan dalam diri Plato : Apakah pengetahuan itu? Bagaimanakah cara manusia mendapatkan pengetahuan?

Untuk jawaban pertanyaan ini, Plato menuliskan suatu cerita :

"Bayangkanlah orang-orang di dalam semacam tempat tinggal di bawah tanah yang berbentuk gua dengan jalan masuk yang panjang. Jalan itu terbuka menghadap sinar matahari. Sejak mudanya orang-orang itu di sana dengan kaki dan leher yang terikat, sehingga mereka tidak dapat meninggalkan tempatnya dan hanya dapat melihat ke depan saja. Orang-orang seperti mereka itu tidak pernah dapat melihat apa-apa  selain dari bayangan-bayangan di dinding depan mereka, dan mereka mengira, bahwa mereka dengan memberikan anam kepada apa-apa yang mereka lihat, telah memberikan nama kepada kenyataannya sendiri"

Plato menganggap bahwa pengetahuan kita akan kehidupan persis seperti manusia gua itu. Seluruh nama-nama, konsep kebenaran dan keyakinan tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya. Semua berdasar pada bayangan dari kenyataan yang sebenarnya. Bayangan itu sebagian dari kenyataan, dan "seorang pecinta kearifan menghendaki seluruh kebijaksanaan bukan hanya sebagiannya saja", demikian tulis Plato.

Bayangan itu adalah "pendapat tentang kenyataan" (eikasia), ia bisa berasal dari amatan orang lain yang kita anggap lebih ahli atau berasal dari kepercayaan umum. Namun, sehebat-hebatnya pendapat orang lain adalah milik orang lain bukan milik kita sendiri. Padahal pengetahuan yang mengarahakan kebahagiaan adalah pengetahuan yang kita alami sendiri, yang kita sadari secara utuh. Pendapat orang lain tentang kenyataan disebut eikasia, yang secara bebas bisa diartikan sebagai ilusi atau gosip. Eikasia tidak akan mengantarkan manusia pada kearifan, malah akan membuat orang terjerembab dalam kesalah yang fatal yaitu tidak menemukan kebahagiaan dalam hidup.

Untuk itu, bagi Plato, kita harus mencari sumber bayangan tersebut. Setiap bayangan tentu hasil dari penyinaran suatu benda. Bentuk-bentuk hitam bayangan yang kita lihat di dinding berasal dari benda-benda asli yang warna-warni dan tidak hanya pendpat orang lain, seharusnya merasa penasaran untuk mengetahui secara langsung apa yang menjadi dasar dari pendapat itu. Kita harus melihat langsung kehidupan nyata yang semula hanya bayangannya saja yang kita terima. Setelah kita melihat benda-benadanya secara langsung kita menemukan sesuatu yang berbeda. Kita sanggup menghasilkan pendapat senddiri berdasarkan apa yang kita lihat. Tetapi, cara ini pun menyimpan kesalahan yang menyesatkan kebagaiaan kita. Pengetahuan yang hanya berdasar pada apa yang terlihat disebut pistis, dan bagi Plato pistis merupakan jalan menuju kesesatan. Salah satu sebabnya adalah bahwa apa yang kita lihat belum tentu menggambarkan keseluruhan obyekitu, padahal menurut Socrates setiap benda memiliki pengertian umum, Bertumpu pada penglihatan, pada inedrawi, membuat kita terjebak pada bagian-bagian yang membuat kita tak bisa memperluas cakrawala pengetahuan.

Misalnya, suatu pagi seseorang melihat kucing hitam dan menamainya sebagai "kucing", beberapa saat kemudian ia melihat binatang yagn bentuk dan ukurannya sama, namun warnanya putih; binatan kedua ini tidak bisa ia namakan sebai "kucing". Kenapa? Karena pengetahuan inderawi bertumpu pada apa yang tampak, warna salah satunya. Perbedaan warna menghambat kita untuk menyatakan "kucing hitam" dan "kucing putih" sebagai jenis binatang yang sama. Di sinilah dibutuhkan pengertian umum, yaitu pengertian tentang suatu hal yang tidak terjebak pada bagian-bagian seperti warna.

Untuk itu Plato tidak percaya pada pengetahuan yang besumber dari pengamatan inderawi. Bayangkan saja, jika kita hanya percaya pada sumber inderawi, kita membutuhkan banyak nama untuk satu jenis binatang seperti kucing; kita akan kerepotan menghapal nama-nama karena semua hal dianggap berbeda dan harus memiliki satu nama yang mandiri. Maka Plato merasa perlu untuk memperlengkapi daya inderawi dengan daya berpikir abstraks (dianoia) . Maksudnya, kita harus menemukan pengertian umum dari apa yang diberikan oleh indera. Cara untuk menemukan pengertian umum disebut sebagai abstraksi, yaitu kegiatan menyingkirkan bagian-bagian dari suatu benda sehingga yang tersisa adalah ciri umumnya saja. Yang terlihat oleh indera dianggap oleh daya dianoia sebagai simbol dari hal-hal yang non-inderawi.

Namun dianoia pun bagi Plato belum memberikan pengetahuan sejati. Dianoia masih menggunakan data inderawi dalam menghasilkan pengetahuan, padahal pengetahuan yang baik, bagi Socrates, adalah pengetahuan berdasar pada "jiwa yagn baik" (eudaimonia). Karena itu, pengetahuan sejati bagi Plato harus berdasarkan pada penglihatan jiwa (noesis).

Keempat tahap pengetahuan ini digambarkan Plato dalam Symposium. Plato menyatakan bahwa kita tak pernah dapat megnenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu mengenal seseorang secara utuh pada pertemuan pertama. Kita butuh waktu mengenal bagian terdalam dari diri seseorang. Pertama kali kita mengenali seseorang tentu berdasar kabar mengenai orang itu, kabar itu memberikan banyak praduga dalam diri kita. Lalu pada saat kita melihatnya secara langsung, sebagian praduga itu berguguran, karena melalui pandangan inderawi sendiri kita menemukan keindahan tubuh yang lebih dari apa yang digambarkan orang lain. Kemudian, dengan mencintai keindahan tubuh yang kita lihat, kita akan mencintai bukan lagi keindahan yang kita lihat itu melainkan juga sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu jiwa yang indah. Dari sana kita menuju cinta akan pemikiran dan ide-ide yang indah, lalu kita bergerak menuju cinta sejati.

Menilai berdasarkan kabar orang lain adalah eikasia, menilai dan tertarik berdasar penglihatan langsung adalah pistis; menemukan keindahan yang tidak kelihatan adalah tahap dianoia; dan menemukan cinta sejati adalah tahap noesis.

Contoh lain bisa diambilkan lagi dari amsal Jostein Gaardner di atas. Ia memberikan amsal yang lebih mudah dimengerti:

Jika kamu lihat kue pancong, kamu menemukan bentuk kue yang sama. Berapa pun kamu beli kue itu, semuanya berbentuk sama bukan? Setengah elips, seperti bulan setengah.
Pertanyaannya, kenapa semuanya berbentuk sama?
Kamu bisa jawab? tentu saja, mudah. Karena kue itu dibuat dalam satu cetakan yang sama. Semua adonan dibuat oleh Mamang Tukang Pancong dalam cetakan yang sama. Jadi wajar saja jika semuanya memiliki bentuk yang sama.

Bentuk-bentuk kue pancong adalah apa yang kita lihat (pistis). Masing-masing seperti mandiri, terpisah satu sama lain. Namun jika kita bandingkan satu sama lain, ada kesamaan yang dimiliki  semua kue pancong itu, ia berbentuk setengah elips. Kenapa semuanya berbentuk sama? Inilah pertanyaan yang mengarahkan kita pada tahap dianoia, yaitu usaha untuk menemukan yang tidak inderawi dari obyek pengamatan kita. Sedangkan kesimpulan bahwa "kue itu dibuat dalam satu cetakan yang ama" merupakan pengetahuan noesis. Yaitu jenis pengetahuan yang tidak bersandar pada penglihatan inderawi, namun pada penyebab yang menjadikan apa yang terlihat secara inderawi.

Pembicaraan noesis mengiring kita pada pembahasan tentang jiwa dalam pemikiran Plato. Jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri, ia berasal dari dunia idea dan karenanya bersifat kekal, tidak dapa mati. Jiwa memiliki tiga bagian:
  1. Bagian akal, yang mencita-citakan kebijaksanaan.
  2. Bagian kehendak yang mencita-citakan keberanian, dan
  3. Keinginan atau nafsu, yang harus dikendalikan sehingga kesopanan dapat ditegakkan.
Bagaimana ceritanya jiwa yang kekal itu bisa terperangkap dalam sangkar daging tubuh?

Plato memiliki cerita mengenai hal ini : Konon jiwa itu laksana sebuah kereta yang bersais (yang dikendalikan oleh rasio), yang ditarik oleh dua kuda bersayap : yaitu kuda kebenaran yang lari ke atas, ke dunia ide ; dan kuda keinginan atau nafsu yang lari ke bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik menarik itu kuda keinginanlah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dihukum penjara dalam sangkar daging (tubuh).

Jiwa yang berasal dari dunia idea tentu saja sebelumnya telah menemukan seluruh pola-pola yang menjado asal kenyataan di dunia ini. Pengalaman jiwa inilah yang memuat akal pikiran bisa menemukan bayangan pola-pola dari benda-bendar terinderai. Pola-pola yang membuatnya teringat pada pola-pola di dunia idea. Inilah teori pengingatan ulang (rekoleksi). Jadi bagi Plato pengetahuan tentang kebenaran secara alami sudah ada, mendekam, dalam diri seseorang sebelum ia mampu belajar lewat pengalaman dan observasi. Namun ia terperangkap oleh cara pandang indera, karena itu manusia harus mengingat kembali pengetahuaannya dengan cara menemukan pola-pola yang dapat ditemukan dari benda-benda terinderai.

Cara Menemukan Dunia Ide alias Kebenaran

Mari kita buat urutan pengetahuan menurut Plato :Eikasi, Pistis, Dianoia, dan Noesia. Dari kesemuanya itua da yang menunjuk pada kepahaman yang salah (Doxa), yaitu Eikasia dan Pistis; dan ada yang menunjuk pada kepahaman yang arif (episteme). Namun yang menarik dari Plato adalah bahwa dari doxa itu, jika kita terus menerus menelusuri formanya akan sanggup mencapai pada kearifan. Hal ini bisa terjadi, karena yang disebut doxa adalah pengetahuan yang dicerap melalui indera, yang justru data-data indera itu dibutuhkan bagi penemuan kearifan (episteme).

Dari kaitan ini kita dapat belajar bahwa tak ada kesalahan atau kejahatan yang abadi, hanya kebaikan dan kearifan saja yang abadi. Dalil ini memberi ruang kebahagiaan tersendiri agi kita, terlebih kita seringkali merasa sedih dan tersingkir ketika menyadari adanya kesalahan dalam kesadaran kita. Menurut Plato, sekali lagi, kesalahan justru jalan menuju kebenaran. Tentu saja, dengan syarat kita menyadari kadar kesalahan itu; dengan modal kesadaran akan kesalahan, akan kebebalan kita dapat menemukan kearifan.

Bagaimana Caranya? 
 Mari kita gambarkan skema penemuan ide / kebenaran menurut Plato
Eikasia dan Pistis dianggap sebagai doxa (pemahaman yang salah), sedang Dianoia dan Noesia adalah Episteme (pemahaman yang benar). Doxa bagi Plato tidak harus dibuang, namun dijadikan modal sebagai jejak menuju episteme. Jadi dapat kita simpulkan bahwa kesalahan merupakan awal dari ditemukannya penemuan kebenaran. Ini tentu agak mirip dengan Socrates Sang Guru, ia juga bertugas tanpa lelah untuk melahirkan kebenaran dari anggapan yang salah.

Namun bagaimana kita dapat menemukan idea (Sebagai kebenaran tertinggi) dari apa yang kita amati? Socrates, dengan tegas, menggunakan cara dialog; lalu Plato seperti apa?

Eikasia dan Pistis adalah kerja indera. Kita menemukan dunia kenyataan yang terus berubah dan saling bertentangan, jika kita mengandalkan gosip (eikasia) tentang suatu masalah dan cara pandang emosional (pistis) kita tak akan mendapatkan kebenaran utama. Namun fakta yang didapatkan dari eikasia dan pistis juga penting bagi penemuan dianoia. Jadi indera harus tetap digunakan dengan cara mawas diri, agar temuan indera ini tidak disimpulkan secara terburu-buru. Kenapa tidak boleh terburu-buru? karena kita sadar diatas pistis ada dianoia dan noesia.

Tahap Pertama : Eikasia (informasi yang kita dengar, berdasarkan cerita atau gosip)

Pada tahap ini, kumpulkan saja informasi sebanyak-banyaknya dengan bertanya pada orang sekitar atau orang lain yang kira-kira mengetahui tentang apa yang hendak kita cari tahu. Gali informasi sebanyak-banyaknya dari cerita orang lain. Jangan langsung percaya, tetapi kumpulkan dulu informasi itu sebagaim bahan. Anggap saja cerita orang lain itu sebagai asumsi yang tidak berdasarkan fakta.

Tahap Kedua : Pistis (Kumpulkan informasi dari penglihatan, apa yang kita lihat dengan mata kepala sendiri)

Apa yang kita lihat di lapangan, yang kita lihat melalui video, kumpulkan saja. Jangan langsung menganggap itu sebagai kenyataan. Bukankah di zaman sekarang ada pesulap, trickster, penipu, yang memanfaatkan penglihatan manusia. Para pesulap terlihat begitu hebat, mampu menghilangkan kartu dalam sekejap lalu memunculkannya, tapi kenyataannya itu hanya sebuah trik. Saat kita mengetahui trik sulap tersebut, kita akan langsung ilfil, oh gini toh.... Jangan langsung percaya hanya karena kita melihat sesuatu itu seperti yang kita pikirkan. Kumpulkan saja informasi melalui indera penglihatan.

Tahap Ketiga : Dianoia (Hugungkan Semua Informasi dalam Urutan ini dan kemudian itu)

Setelah terkumpul banyak inforamsi, tugas selanjutnya adalah mencerna fakta-fakta tersebut, dengan cara menghubungkannya satu sama lain. Daya dianoia yang anda miliki memiliki kemampuan untuk mengurutkannya, mana yang awal mana yang kemudian. Pengurutan fakta-fakta ini akan membawa anda pada pembandingan satu fakta dengan fakta yang lain, dan secara pasti akan menyingkirkan fakta dari pistis dan eikasia yang tidak benar. Yaitu yang tidak bersesuaian dengan fakta yang lain, tentu setelah diperbandingkan. Gagasan-gagasan awal akan bermunculan dalam bentuk dugaan, jangan-jangan ini atau itu?

Tahap Noesia: Renungkan, Hindari Dugaan, Sampai Muncul Satu Gagasan  

Kemudian bacalah ulang, renungkan ulang, dengan cara menerima semua kemungkinan. Pada saat ini akan muncul satu kesimpulan kasar mengenai apa yang sedang terjadi, atau apa gambaran umum dari semua fakta yang anda temukan. Renungkan kembali, inilah tahap inkubasi, dengan tenang tanpa prasangka dan keterburu-buruan sampai muncul satu gagasan dari diri anda. 


Contoh Pengaplikasian Metode Plato ini:

Suatu ketika anda hendak menulis paper dengan satu topik tertentu, misalnya Krisis Ekonomi Indonesia. Kesulitan membuat paper, biasanya karena anda lebih dahulu berpikir (atau menilai) sebelum tersedia banyak bahan. Maka, langkah pertama kumpulkan dulu semua bahan, apa pun (guntingan koran, catat wawancara di radio atau TV, buku-buku dan jurnal ilmiah) yang berkenaan dengan topik paper anda. Pada saat mengumpulkan itu, semua sumber dianggap sama pentingnya.

Setelah itu, baru dibaca semua sumber secara seksama. Bandingkan dan hubungkan satu sumber dengan sumber lain, niscaya anda sudah mendapatkan satu gambaran umum (agak remang-remang) tentang topik tersebut. Setelah itu, berdiam dirilah, pikirkan semuanya baik-baik; ditimbang-timbang. Jika anda tidak terlalu terburu-buru, secara otomatis akan muncul satu gagasan tentang apa yang harus anda tuliskan. 


Metode menemukan ide/kebenaran ala Plato ini juga bisa dipergunakan dalam memecahkan sebuah kasus atau mengungkap sebuah sejarah.

Demikianlah artikel kami tentang Pemikiran Plato, semoga menginspirasi.

3 comments:

  1. keren banget, sangat menginspirasi, trims bangeeeet

    ReplyDelete
  2. Bagus tapi jika saya boleh kasih saran:

    Lain kali sertakan daftar pustaka biar enak pembaca cari referensinya

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete